Rumah Murah, Mungkinkah Terwujud dengan Kapitalisme?

Oleh: Ummu Zhafran

Pegiat literasi

 

Lensa Media News—Kata pepatah, rumahku surgaku. Tapi apa jadinya bila rumah tak sanggup dimiliki? Begitulah, realitas sekarang, harga rumah semakin tak terjangkau. Dari data Leads Property, untuk rumah komersial harga rata-rata rumah per unit di Jabodetabek sudah mencapai Rp 2,5 miliar.

 

Kondisi di atas terjadi justru saat Pemerintah telah menyalurkan total dana sebesar Rp 108,5 triliun untuk Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) selama 13 tahun terakhir. Selain FLPP, ada pula SSB (Subsidi Selisih Bunga), dan SSM (Subsidi Selisih Margin), serta rumah DP nol rupiah. Tetapi semua itu dirasakan publik hanya menambah derita di atas derita, terutama bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).

 

Perlu diketahui, bahwa istilah ‘subsidi’ pada berbagai skema tersebut wujudnya melalui pengurangan bunga pembayaran cicilan saja bukannya harga. Sehingga di tengah impitan mahalnya berbagai bahan kebutuhan pokok, masyarakat tentu harus merogoh kocek sangat dalam untuk memiliki rumah.

 

Malangnya lagi, dana yang seharusnya untuk pembangunan rumah yang dibutuhkan malah diserahkan kepada korporasi sebagai operator. Yakni, ke pihak pengembang dan bank sebagai pengelola. Semakin pelik, ketika telah ditangani korporasi, minim pula rumah yang bisa disiapkan dari dana Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Contohnya untuk tahun 2020, dari perkiraan 250 ribu unit rumah yang dibutuhkan sekitar 102.500 unit rumah saja yang siap huni. 147.500 unit rumah sisanya harus bersabar menanti anggaran di tahun berikutnya, bila ada.

 

Apa artinya? Tak lain berarti negara berlepas tangan dari menjamin terpenuhinya kebutuhan khalayak akan hunian yang sehat dan layak. Belum lagi kendala klasik yang kerap menghambat seperti pembebasan lahan yang sering tak berpihak pada pemilik lahan. Tak sedikit warga yang mengeluhkan rendahnya biaya ganti rugi yang diberikan. Diganti namun merugi sebab belum tentu bisa mendapatkan lahan pengganti dengan harga terjangkau.

 

Begitu pula adanya aneka persyaratan yang terus diperbaharui, salah satunya harus memiliki penghasilan minimal 4 juta rupiah per bulan untuk mendapat KPR. Nyata, bagi yang berpenghasilan harian maupun serabutan, punya rumah bagai pungguk merindukan bulan. Betapa hidup dalam belenggu kapitalisme yang berlaku kini sangat menyesakkan dada dan menyebabkan kesengsaraan.

 

Memang kapitalismelah biang keroknya. Terlihat saat ideologi ini menempatkan negara bukan sebagai pihak yang menjamin pemenuhan kebutuhan rakyat. Melainkan hanya sebagai regulator layaknya petugas wasit dalam pertandingan sepak bola. Hal ini tentu riskan mengingat perkara rumah vital dibutuhkan semua orang.

 

Dengan kata lain, alih-alih menyerahkan pada pengembang yang notabene korporasi dan bank yang profit oriented seharusnya negara berperan langsung menjawab apa yang dibutuhkan rakyat berupa penyediaan rumah. Dengan segala perangkat, anggaran dan sumber daya alam yang dikuasakan pada negara untuk mengelola, hal tersebut niscaya mudah. Tapi bukan begitu tabiat yang dimiliki kapitalisme. Itu milik Islam.

 

Ya, Islam memiliki karakter khas yang menjadikannya unik dan istimewa. Selain kedudukannya sebagai Dien yang diturunkan Allah Maha Pencipta kepada Rasulullah Muhammad saw. penutup para Nabi, maka Islam menetapkan negara bertanggung jawab langsung mengurusi semua urusan rakyat. Apa dan bagaimana pun alasannya, tidak dibenarkan negara hanya sebagai regulator. Sebabnya jelas, Rasulullah saw. bersabda yang artinya, “Imam (Khalifah) adalah pengurus dan ia bertanggung jawab atas (urusan) rakyatnya.” (HR Al Bukhari).

 

Otomatis dalam perkara rumah, negara tidak boleh mengalihkan tanggung jawabnya kepada operator, baik kepada pengembang maupun bank-bank. Karena hal tersebut sama saja mencabut kewenangan negara sebagaimana tuntunan Rasul saw.

 

Sementara itu, anggaran dan pembiayaan pembangunan perumahan, ditetapkan dari Baitul Mal. Dengan catatan, seluruh pemasukan dan pos pengeluaran sepenuhnya tunduk pada ketentuan syariat. Di sisi lain, negara juga diamanahkan Islam untuk melarang penguasaan tanah oleh korporasi, karena hal itu akan merusak mekanisme kepemilikan yang diatur dalam risalah Islam.

 

Negara juga harus mengolah sendiri barang tambang untuk menghasilkan semen, besi, aluminium, tembaga, dan lain-lain menjadi bahan bangunan yang siap pakai. Sudah tentu agar bisa diakses segenap individu rakyat baik secara gratis maupun membeli dengan harga terjangkau (murah).

 

Demikianlah, di mana ada syariat di situ pastinya terkandung maslahat alias kebaikan. Asalkan diterapkan secara menyeluruh semata menaati perintah Allah Swt. yang termaktub dalam kitab suci Alqur’an. Baitiy Jannatiy (Rumahku Surgaku) pun bakal terwujud nyata di dunia maupun akhirat, bukan lagi sekedar kata. Wallaahua’lam. [ LM/ry].

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Please follow and like us:

Tentang Penulis