Pemerataan Infrastruktur Pendidikan dalam Sistem Kapitalis Mustahil Terwujud, Mengapa?

Oleh: Sabila Herianti
LenSa Media News _ Pendidikan berkualitas merupakan salah satu kebutuhan pokok rakyat yang seharusnya dipenuhi oleh negara. Sayangnya, saat ini tidak semua rakyat mempu mengakses pendidikan dengan kualitas yang diharapkan. Ditambah lagi di negeri ini terdapat ketimpangan infrastruktur pendidikan yang sangat jelas terlihat antara pendidikan di desa/kabupaten dengan di kota.

Melihat fakta saat ini, presiden Joko Widodo menegur Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, Nadiem Makarim tentang ketimpangan infrastruktur pendidikan. Presiden juga mengakui adanya gap sarana prasarana yang sangat jauh berbeda, terutama di daerah 3T (Tertinggal, terdepan dan terluar) yang infrastrukturnya terbatas, fasilitasnya terbatas, dan gurunya-pun terbatas (CNN Indonesia 25-11-2023).

Pendidikan adalah salah satu faktor penting dalam menentukan kemajuan bangsa. Dengan pendidikan, masyarakat akan berpikir lebih maju, bermoral, dan mampu menciptakan peradaban unggul. Kesenjangan infrastruktur pendidikan yang jelas terlihat ini akan menjadi hambatan utama yang mempengaruhi kesetaraan pendidikan di Indonesia dan mengakibatkan sulitnya sebagian besar peserta didik dalam mendapatkan pendidikan berkualitas.

Sejatinya, dalam membentuk pendidikan berkualitas negara membutuhkan anggaran yang besar serta kebijakan-kebijakan yang mendukung terbentuknya sumber daya manusia yang berkualitas. Oleh sebab itu, kurangnya pemerataan infrastruktur di Indonesia sangat erat kaitannya dengan sistem ekonomi dan politik yang diterapkan di negeri ini. Sayangnya, sistem yang diterapkan saat ini adalah kapitalisme yang menjadikan sektor pendidikan sebagai komoditas ekonomi. Pendidikan tidak diposisikan sebagai layanan yang wajib disediakan negara untuk seluruh rakyatnya. Akhirnya, negara menyelenggarakan pendidikan namun dengan anggaran yang minim dan terus berkurang di setiap tahunnya.

Disisi lain, penyediaan fasilitas pendidikan berkualitas yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara justru diserahkan kepada pihak swasta yang tentu saja berorientasi untung. Faktanya, saat ini banyak sekali sekolah-sekolah elit swasta yang bermunculan di tengah ketimpangan sarana prasarana pendidikan yang disediakan negara. Alhasil, rakyat miskin hanya dapat mengakses pendidikan berkualitas rendah yang disediakan negara.
Pemerataan infrastruktur pendidikan dalam sistem kapitalis mustahil terjadi. Pemerataan tersebut hanya akan terealisasi dalam tata kola pendidikan Islam. Dalam Islam, negara lah yang bertanggung jawab dalam menyediakan pendidikan. Negara Islam atau Khilafah akan meniscayakan semua warga negara mampu mengakses pendidikan yang berkualitas bahkan gratis. Kemampuan negara mewujudkan hal tersebut didukung oleh sistem ekonomi Islam yang mengatur pembiayaan pendidikan di bawah Departmen Kemaslahatan Umat Negara Khilafah.

Pembiayaan pendidikan dalam Khilafah berasal dari kas negara atau Baitul Maal yang sumber pemasukannya berasal dari pos fa’i dan kharaj, pos kepemilikan umum, dan pos zakat. Adapun anggaran pendidikan akan dibiayai dari pos fa’i dan kharaj, dan pos kepemilikan umum. Dari pos kepemilikan umum saja, negara akan memiliki pemasukan berlimpah karena pos ini bersumber dari pengelolaan sumber daya alam seperti hutan, lautan, tambang, mineral, dan lain-lain. Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah Saw, yang artinya, “Kaum muslimin berserikat dalam tiga perkara, yaitu padang rumput, air dan api.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad).

Namun, jika kas negara mengalami kekosongan, Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani, seorang ulama terkemuka dari Palestina dalam bukunya Nidzomil Iqtishady fil Islam, menyatakan dalam keadaan tersebut negara berhak menarik dharibah (pajak) bagi laki-laki muslim yang telah tercukupi kebutuhan primer, sekunder dan tersiernya (sesuai standar hidup tempat mereka tinggal) dalam rangka tetap membiayai infrastruktur pendidikan yang prioritas dan tetap menunaikan gaji tenaga pendidikan. Sembari menunggu penarikan pajak dari kaum muslimin tersebut, negara dibolehkan berhutang kepada orang kaya demi mempercepat pemenuhan kebutuhan pendidikan.

Negara akan menyediakan segala fasilitas yang menunjang kegiatan belajar mengajar yang memudahkan guru dalam mentransfer ilmu, seperti gedung, kampus, asrama siswa, perumahan staf pengajar/guru, perpustakaan, laboratorium, auditorium, buku-buku, internet, dan lainnya. Semua sarana tersebut akan disediakan negara secara cuma-cuma alias gratis. Buktinya, dengan pendidikan berkualitas yang dapat diakses secara gratis, Khilafah telah menjadi negara adidaya yang menjadi pusat ilmu pengetahuan dan teknologi dunia selama berabad-abad lamanya. Output pendidikan masa Khilafah telah melahirkan ulama, ilmuwan level dunia yang karya-karyanya masih menjadi rujukan dunia dan dirasakan manfaatnya hingga saat ini.

Wallahu a’alam.

(LM/SN)

Please follow and like us:

Tentang Penulis