Miris, Gila Jadi Salah Satu Risiko Caleg Gagal

Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Redpel Lensa Media News

 

 

LenSaMediaNews__RSUD Indramayu telah menyiapkan ruang perawatan khusus bagi calon legislatif (caleg) yang mengalami gangguan kejiwaan akibat gagal dalam Pemilu 2024 (republika.co.id, 23-11-2023). Humas RSUD Indramayu, Tarmudi menyebutkan, RSUD Indramayu memiliki ruangan khusus bagi para ODGJ. Mulai dari Instalasi Gawat Darurat (IGD), layanan rawat jalan atau poli, hingga ruang perawatan. Tak hanya itu, RSUD Indramayu juga sudah menyiapkan dokter spesialis jiwa juga dokter umum dan perawat yang sudah dilatih sebelumnya.

 

Tarmudi mengakui, kasus orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) memang biasanya mengalami peningkatan setelah Pemilu. Gangguan jiwa itu baik yang hanya berupa gejala ringan hingga berat. Menurutnya, gangguan jiwa itu muncul karena kenyataan yang mereka terima tidak sesuai dengan harapan. Padahal, para caleg sebelumnya sudah berjuang dengan mengeluarkan biaya, tenaga dan pikiran yang tidak sedikit.

 

Dalam Pemilu 2024 mendatang, terdapat 589 caleg yang masuk dalam daftar calon tetap (DCT) untuk DPRD Kabupaten Indramayu. Jumlah itu mengalami peningkatan dibandingkan Pemilu 2019 yang hanya mencapai 565 caleg. Pada tahun 2019 lalu untuk daerah Sulawesi Selatan ada sebanyak 14.704 calon anggota legislatif (caleg) yang akan memperebutkan posisi anggota dewan. Jumlah itu terdiri atas 384 caleg DPR, 1.360 caleg DPRD provinsi dan 12.960 caleg DPRD kabupate/kota. Itu belum termasuk calon senator. Dari jumlah tersebut, hanya 919 orang yang akan terpilih jadi anggota dewan, atau hanya 6,25% dari jumlah caleg yang ada. Dan otomatis 93,75% gagal jadi caleg. Jumlah yang sangat besar (mediaindonesia.com, 17-3-2019).

 

Anggota Legislatif Selalu Menjadi Harapan Baru

Setiap pemilu calon legislatif ( caleg) jumlahnya terus bertambah. Posisi menjadi anggota legislatif masih menjadi primadona. Baik bagi mereka yang tulus memikirkan perubahan maupun para opportunitis yang melihat ada banyak kesempatan mendulang sukses. Baik saat aktif maupun nonaktif atau pensiun.

 

Terlebih jika melihat fakta hari ini, menjadi pegawai biasa bahkan mereka yang menjadi wirausaha seolah bukan “apa-apa” jika dibandingkan para anggota legislatif tersebut. Keadaan ekonomi yang tidak menentu, sulitnya mendapatkan pekerjaan yang tepat, sempitnya lapangan pekerjaan dan terus mahalnya biaya hidup menjadi anggota legislatif memang bak oase di tengah padang gurun, sama seperti impian para pekerja honorer dan masyarakat umum terhadap profesi ASN.

 

Jika Ingin Perubahan Mengapa Harus Berisiko Gila?

Beberapa caleg maju memang murni untuk membantu masyarakat. Sebut saja Arif, bukan nama sebenarnya, yang bertarung di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, untuk duduk di kursi anggota dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD) tahun 2019 lalu, kini ia menjadi salah satu pasien panti rehabilitasi.

 

Dengan modal Rp1 miliar, dengan rincian Rp250 juta dari dompetnya, meminjam uang Rp300 juta dari orang tuanya dan menerima Rp500 juta dari bank dengan menggadaikan sertifikat usaha stasiun pengisian bahan bakar nelayan (SPBN) miliknya. Kebutuhan beruntun hingga 60 persen dialokasikan untuk belanja alat peraga kampanye (APK) . Sisanya, untuk membayar tim sukses, dan sembako untuk dibagikan kepada masyarakat di daerah pemilihannya sebagai sogokan. Ketika gagal, justru stres yang ia rasakan berlipat ganda karena tak tahu cara mengembalikan uang yang ia pinjam. Gila memang akhirnya jadi dampak terburuk, selain habisnya harta benda.

 

Inilah fakta politik demokrasi, jargon perubahan yang ia usung hanya kamuflase, sejatinya yang bermain hanyalah kepentingan, baik golongan, pribadi maupun partai. Soal siapa yang akan diloloskan sebagai pemimpin (yang digadang bakal membawa perubahan) tak menjadi soal sudah disetting sejak awal. Demokrasi juga meniscayakan berbagai kepentingan pemodal yang terkuat mengendalikan siapa yang “ bisa “ menjadi pemimpin , intinya menjamin pemimpin baru tidak akan mengadakan perubahan.

 

Politik Islam Lebih Konsisten dan Tepat Sasaran

Menjadi pemegang kekuasaan memang menjadi fitrah manusia, dalam Islam disebut dengan gharizah baqa’ (naluri mempertahankan diri), namun jika manusia dibiarkan tanpa aturan, kita bisa melihat faktanya dalam sistem demokrasi kapitalisme. Sebab dalam Islam, setiap mukmin wajib terikat syariat apalagi jika ia diberi amanah sebagai pemimpin atau pemegang kewenangan.

 

Rasulullah Saw. Bersabda,”Sungguh jabatan ini adalah amanah. Pada Hari Kiamat nanti, jabatan itu akan menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi orang yang mengambil jabatan itu dengan haq dan menunaikan amanah itu yang menjadi kewajibannya” (HR Muslim). Maka, pemimpin adalah bukan pada person atau sosoknya, tapi juga dengan apa ia akan memimpin. Sebab kekuasaan adalah amanah, bukan sekadar mendapatkan jabatan atau ma’isyah (ladang pencarian nafkah). Kelak akan dipertanggungjawabkan di akhirat.

 

Pemimpin dalam Islam adalah orang yang dikenal dalam masyarakat dimana dia tinggal, ia memimpin dengan syariat bukan yang lain. Tujuan memiliki kekuasaan bukan memperkaya diri, keluarga, golongan, kelompok, komunitas atau partainya tapi untuk meriayah (mengurusi) urusan umat dengan syariat. Agar Islam menjadi rahmatan lil alamin. Wallahu ‘alam bishshawab.

 

 

 

 

Please follow and like us:

Tentang Penulis