Ketua Lembaga Anti Korupsi Jadi Tersangka, Apa Kata Dunia?
Oleh : Ummu Zhafran
(Pegiat Literasi)
Lensa Media News – Akhirnya atau awalnya? Bisa keduanya. Penetapan Ketua Komisi Anti Rasuah sebagai tersangka bisa saja akhir dari penyidikan kasus, tapi dapat juga menjadi babak awal dari sebuah drama. Pasalnya tak siapa pun menyangka status tersebut bisa menimpa figur nomor satu di lembaga yang bertugas memberantas tindak korupsi. Bahkan oleh aparat, ia dijerat dengan pasal berlapis yaitu pemerasan dan penerimaan gratifikasi. Wow, luar biasa!
Tetapi andai bisa jujur, kabar semacam ini sebenarnya bukan hal baru. Telah berulang kali terjadi. Kalau sekarang menjerat pemimpin KPK, yang sebelumnya tak sedikit pula melibatkan beberapa oknum dari lembaga yang sama. Apa hendak dikata, korupsi seolah memang sudah membudaya di negeri ini. Tak lagi sekadar kekhilafan pribadi. Melainkan problem sistemis yang tak mudah begitu saja diatasi. Bahkan menurut seorang jurnalis kawakan, Najwa Shihab, korupsi perkara lumrah di tengah kondisi politik demokrasi yang berbiaya tinggi. Bisa dilihat dari banyaknya kasus demi kasus yang terungkap bak cendawan tumbuh subur di musim hujan.
Tak terbantahkan, selama demokrasi masih diberi panggung selama itu pula perilaku korup dan manipulasi setia membayangi. Karena langsung maupun tidak, demokrasi membuka celah untuk korupsi, gratifikasi, suap dan kawan-kawannya. Sistem politik yang juga anak kandung dari ideologi kapitalisme ini memang memandang materi di atas segalanya. Dengan kata lain semua hal dinilai dengan harga berupa materi atau cuan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa slogan no free lunch benar berlaku, yang sering kali memicu perkara suap menyuap atau jual beli kasus. Hal ini pernah disinyalir pengamat politik Rocky Gerung dalam salah satu kesempatan, bahwa kerap kali amplop tebal mengalahkan otak yang tebal (cerdas).
Inilah tabiat asli dari kapitalisme-demokrasi. Buktinya, korupsi, kolusi, nepotisme dan gratifikasi bukan hanya marak di tanah air, tapi tak jarang menjadi skandal di tengah masyarakat dunia yang menerapkan nilai-nilai yang bersumber dari ideologi Barat tersebut. Bahkan negara-negara Barat yang merupakan kampiun dalam menerapkan demokrasi-kapitalis tak sedikit pula yang mempertontonkan perilaku kriminal ini. Dunia pun seolah terbiasa menjadi saksi bisu segala perilaku tidak amanah itu. Maka dengan seluruh potensi dan hal negatif yang dimiliki kapitalisme, aneh saja bila tetap dipertahankan. Bukankah ideologi yang notabene buatan manusia ini telah gagal dalam mewujudkan kesejahteraan yang merata? Bahkan semakin lama tak ubahnya bagaikan pabrik penghasil para koruptor baru dari masa ke masa.
Lantas mengapa tak berpaling pada solusi langit? Apalagi kalau bukan pada Islam yang hadir sebagai jawaban. Agama yang diturunkan Allah Swt. sebagai petunjuk hidup manusia tanpa memandang suku, ras maupun agama. Janji Allah Swt. bila diterapkan secara menyeluruh, Islam niscaya menjadi rahmat bagi seluruh alam tanpa kecuali.
Firman Allah Swt.,
“Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam.” (QS. Al Anbiya:107)
Sehingga bila merujuk pada Islam, korupsi tergolong perbuatan khianat. Yaitu tindakan menggelapkan uang yang diamanatkan atau dipercayakan kepada seseorang. Perbuatan ini dibedakan secara definisi dari mencuri, sebab mencuri adalah mengambil harta orang lain secara diam-diam. (Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul Uqubat)
Untuk mengatasi korupsi, Islam menyiapkan dua cara, preventif dan kuratif. Pertama, antara lain dengan menugaskan negara menjamin tersedianya kebutuhan pokok bagi setiap warga negara, menghitung harta kekayaan sebelum dan sesudah menjabat serta penggajian yang layak. Sehingga tiada alasan untuk melakukan segala bentuk penyelewengan anggaran negara.
Sementara cara yang kedua di antaranya, mewajibkan negara menjatuhkan sanksi untuk pelaku khianat (pelaku khianat) ini.
Rasulullah saw, bersabda : ‘Tidak diterapkan hukum potong tangan bagi orang yang melakukan pengkhianatan, orang yang merampas harta orang lain, dan penjambret.’ (HR. Abu Dawud)
Terkait sanksi bagi para koruptor, jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim. Ragamnya mulai dari yang paling ringan, seperti sekedar peringatan dari hakim, kurungan penjara, pengenaan denda, pengumuman pelaku di hadapan publik atau media massa, hukuman cambuk, hingga hukuman mati. Vonis tersebut nantinya bakal disesuaikan dengan berat ringannya kecurangan yang dilakukan.
Tetapi harus disadari sepenuhnya bahwa rahmat dan berkah syariah hanya bisa dirasakan ketika hidup dalam habitatnya yaitu dalam naungan Islam kafah dengan sistem kekuasaan yang diwariskan Rasulullah saw. Tanpanya, problem demi problem niscaya terus membelenggu. Korupsi tetap saja akan merajalela meski beralih bentuk dan rupa pelakunya. Wallaahua’lam.
[LM/nr]