TikTok Shop Dihapus, Solusi Tambal Sulam Kapitalis
TikTok Shop Dihapus, Solusi Tambal Sulam Kapitalis
Oleh : Reski Prastika, S.H.
LenSaMediaNews.com – Sesaat setelah pemerintah resmi melarang TikTok shop dan keranjang kuning dihapus dari aplikasi TikTok, maka seketika dunia maya ramai dengan pro-kontra kebijakan tersebut. Beberapa orang yang merasa dapat keuntungan dari TikTok shop buka suara. Begitupun dengan mereka yang kontra dengan kebijakan tersebut dengan dalih TikTok shop mematikan pasar dan membuat produk-produk UMKM tidak laku di pasaran.
Hal yang menjadi pertanyaan adalah benarkah penghapusan keranjang kuning TikTok benar-benar karena alasan-alasan yang dikemukakan sebelumnya? Ataukah jatah “makan siang” dari TikTok shop tidak memuaskan penguasa?
Ataukah langkah ini merupakan strategi “test the water” untuk menganalisa apakah masyarakat Indonesia sadar akan bahaya yang sedang mengintai? Terbukti dengan pro-kontra di tengah-tengah masyarakat. Yang bisa dikatakan ini seperti politik belah bambu. Tidak ubahnya seperti para penjajah dulu memberi sedikit makan kepada segelintir pribumi untuk dijadikan kacung mata-mata penghianat bangsa. Begitupun dengan TikTok, memberi sedikit keuntungan kepada beberapa affiliate TikTok dengan strategi bakar uang untuk selanjutnya diikat dan ditundukkan.
Penutupan keranjang kuning TikTok tidak akan menyelesaikan masalah. Oleh karena hal itu bukan akar masalah. Justru yang menyebabkan ketimpangan tersebut adalah dibukanya pasar bebas atau globalisasi. Di mana Indonesia memang didesain untuk menjadi pasar, masyarakatnya dibuat konsumtif. Indonesia dijadikan pembuangan akhir sampah-sampah industri (produk-produk Industri dari negara maju, khususnya Cina tentu akan menjadi sampah apabila tidak ada pasar untuk menjualnya dan tidak ada konsumen untuk membelinya).
Yang menjadi persoalan utama adalah bukan adanya TikTok shop atau e-commerce lainnya seperti Lazada dan Shopee. Persoalannya adalah banyak dan bebasnya barang-barang impor yang masuk ke Indonesia (akibat dari globalisasi) yang membuat industri dalam negeri tidak bisa bersaing apalagi UMKM, ibarat cacing melawan ular naga. Kebijakan pasar global menjadikan masyarakat negara konsumen hanya sebagai penjual dan pembeli saja bukan sebagai produsen. Daya kreatif masyarakat dihilangkan dan gaya hidup konsumtif tumbuh subur.
China (contoh negara industri yang sukses di kancah pasar global) sudah jauh-jauh hari mempersiapkan diri menghadapi era pasar global. Di sana industri-industri tertata dengan rapi mulai dari industri khusus membuat barang KW 1, KW 2, KW 3 dst. Mereka tidak fokus membuat brand, mereka fokus membuat barang dengan berbagai varian kualitas dan harga. China mampu membuat barang yang bagus dengan harga yang bagus tetapi juga mampu membuat barang KW se-KW-KWnya yang sesuai dengan budget konsumen.
Pada faktanya, ada banyak hal yang berpengaruh terhadap aktivitas perdagangan hari ini. Adanya pedagang bermodal besar yang menguasai pasar sehingga bisa melakukan monopoli hingga pengaturan pajak yang berbasis pada perusahaan secara fisik. Semua bermuara pada sistem ekonomi kapitalis yang diterapkan hari ini, yang menguntungkan pihak pemilik modal besar.
Jelas hal tersebut bertentangan dengan perintah Allah agar harta itu tidak beredar di kalangan orang-orang kaya saja. Sebagaimana penggalan surah Al-Hasyr ayat 7 :
كَيْ لَا يَكُوْنَ دُوْلَةً ۢ بَيْنَ الْاَغْنِيَاۤءِ مِنْكُمْۗ
“Agar harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu“
Masalah perekonomian global hari ini tidak bisa diselesaikan dengan cara tambal sulam, harus diselesaikan mulai dari akarnya.
Syeh Taqiyuddin an-Nabhani memaparkan dalam bukunya Nidhomul Islam bagaimana negara Khilafah menjaga stabilitas perekonomian dalam negeri.
Perdagangan luar negeri berlaku menurut kewarganegaraan pedagang, bukan berdasarkan tempat asal komoditas. Pedagang kafir harbi dilarang mengadakan aktivitas perdagangan di negeri muslim, kecuali dengan izin khusus untuk perdagangannya atau komoditasnya. Pedagang yang berasal dari negara yang terikat perjanjian diperlakukan sesuai dengan teks perjanjian dengan mereka. Pedagang yang termasuk rakyat, negara tidak diperbolehkan mengekspor bahan-bahan yang diperlukan negara, termasuk bahan-bahan yang akan memperkuat musuh baik secara militer, industri maupun ekonomi. Pedagang tidak dilarang mengimpor harta atau barang yang sudah mereka miliki. Dikecualikan dari ketentuan ini adalah negara yang dengan negara itu sedang terjadi peperangan secara riil maka diberlakukan hukum-hukum darul harb yang riil sedang memerangi negara dalam seluruh interaksi dengan negara itu baik dalam perdagangan maupun yang lain. (Taqiyuddin an-Nabhani, 1953: 206).
Selain itu dalam bingkai negara Khilafah diterapkan ekonomi Islam yang bertujuan tidak hanya sekadar mencari keuntungan tetapi juga mengejar rida Allah SWT.
Islam memiliki sistem ekonomi yang menjamin keadilan dalam aktivitas ekonomi bagi seluruh lapisan rakyat, juga melindungi pedagang dalam negeri dan pelaku usaha lainnya.
Wallahua’lam bishowwab.