Kasus Rempang, Cermin Zalimnya Penguasa
Oleh : Yusra Ummu Izzah
(Pengamat Sosial)
Lensa Media News–Sejak awal september sampai dengan saat ini, demo dan protes terjadi di mana-mana sebagai wujud solidaritas antar sesama manusia yang peduli akan nasib masyarakat rempang yg lahan & tanah mereka diambil secara paksa karena tidak memiliki sertifikat tanah yg mereka tinggali selama ratusan tahun sejak 1843.
Alasan klasik
Proyek strategis nasionallah yang menjadi alasan pemerintah sampai demikian kejam menggusur paksa tanah warga. Padahal hakikatnya demi cuan dan kepentingan oligarki, bagaimana ceritanya? penjelasan sederhananya, demokrasi kapitalisme yang saat ini mencengkeram dunia termasuk Indonesia telah menciptakan korporatokrasi ; bukan rakyat lagi yang berdaulat, tetapi pemilik modal. Negara dijadikan sekadar alat untuk mencapai kepentingan politik dan ekonomi mereka akibatnya rakyat lah yang selalu jadi korban.
Sejatinya kasus rempang mengingatkan kita pada kasus-kasus konflik lahan yang selalu berulang. Penyebabnya pun nyaris selalu sama, yakni rebutan klaim hak atas tanah yang terjadi antara masyarakat dengan pihak pemerintah, korporasi (perusahaan), maupun antara masyarakat dengan masyarakat lainnya.
Sayangnya, khusus dalam konflik antara rakyat dengan negara atau perusahaan, masyarakat seringkali ada pada posisi lemah. Betapa tidak? Di tengah problem kemiskinan dan sulitnya ketersediaan tanah, mereka harus berhadapan dengan pihak yang power dan modalnya jauh lebih kuat. Pemerintah biasanya mengklaim bahwa tanah tersebut adalah tanah milik negara. Lalu diperkuat dengan alasan demi kepentingan umum, seperti kepentingan pembangunan dan investasi yang manfaatnya diklaim jauh lebih besar.
Akhirnya, negara dan perusahaan dengan mudah memanfaatkan lemahnya bukti kepemilikan rakyat atas tanah. Apalagi faktanya masyarakat yg tinggal selama ratusan tahun itu tidak memiliki sertifikat tanah ditambah kurangnya pengetahuan, juga kacaunya sistem administrasi pertanahan, menjadikan masyarakat berakhir menjadi korban kezaliman.
Saat ini ketimpangan penguasaan lahan memang nampak kian memprihatinkan. Pembangunan infrastruktur yang masif dilakukan, membuat kepemilikan lahan, termasuk yang diklaim milik negara, dengan mudah beralih kepada para pemilik modal. Adapun rakyat yang lemah, hampir tidak punya pilihan. Seberapa keras usaha melakukan perlawanan, mereka tetap akan kalah oleh kekuatan uang dan kekuasaan. Terlebih diperparah, adanya kuasa gelap para mafia yang anehnya tak pernah bisa disentuh oleh hukum
Wajar jika akhirnya muncul pertanyaan, sebetulnya negara ini milik siapa? Jika betul semua proyek pembangunan yang memicu konflik lahan adalah demi rakyat kebanyakan, rakyat mana yang dimaksud? karena faktanya rakyat yang justru sering jadi tumbal.
Hal ini sejalan dengan realitas bahwa paradigma kekuasaan hari ini berlandaskan asas sekularisme kapitalisme neoliberal yang begitu mengagungkan kapital dan kebebasan. Negara dalam sistem seperti ini akan memosisikan diri sebagai pengatur kepentingan menjamin kebebasan, bukan meri’ayah apalagi melindungi umat, termasuk dalam soal kepemilikan lahan dan segala hal yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Sungguh benar-benar miris
Solusi Islam
Dalam Islam, Kekuasaan dan kepemimpinan dipandang sebagai amanah yang siap dipertanggungjawabkan kelak di sisi Allah Swt., karena itu kekuasaan & kepemimpiman haruslah tegak diatas landasan akidah Islam. Dari Ibnu ‘Umar r.a., bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas yang dipimpinnya“. (HR Bukhari).
Karena itu, penguasa dalam sistem Islam akan berhati-hati dan takut jika kepemimpinannya menjadi sebab penderitaan rakyat. Mereka akan memastikan, setiap kebijakan yang diambilnya akan memberi kebaikan bagi rakyatnya. Juga akan memastikan setiap individu rakyatnya terpenuhi semua hak dan kebutuhannya.
Amanah kepemimpinan ini sepaket dengan aturan Islam yang bersumber dari Zat Yang Maha Mengetahui. Dengan aturan-aturannya yang rinci, menyangkut segala aspek kehidupan baik pergaulan, ekonomi, politik pemerintahan, persanksian, hankam, dan sebagainya. Tidak ada prinsip kebebasan dalam Islam, sehingga penerapan aturan Islam secara kaffah oleh negara, dipastikan akan menjamin keadilan dan kesejahteraan bagi semua manusia, baik muslim maupun non muslim, bahkan alam semesta.
Adapun jaminan optimal pemanfaatan lahan, diatur oleh Islam dengan aturan tentang larangan penelantaran lahan dan hukum-hukum tentang menghidupkan tanah mati.
Khatimah
Demikianlah, tampak perbedaan yang sangat tajam antara paradigma kekuasaan dan kepemimpinan dalam sekuler kapitalisme neoliberal yang mencengkeram hari ini dengan apa yang dituntunkan oleh Islam. Harapan untuk hidup dalam kedamaian dan keadilan tidak mungkin terwujud dalam sistem sekarang, karena kekuasaan dan kepemimpinan hari ini hanya menjadi alat melayani syahwat dan kepentingan segelintir orang. Wallahualam bissawab. [LM/ry]