Lawan Sepadan Gerakan Politik Zionis

Oleh: Ranita
Lensamedianews.com, Opini – “Sesungguhnya melenyapkan Turki Utsmani atau paling tidak memecahnya, adalah satu-satunya jalan keluar untuk bisa mendirikan negara Yahudi”. Itulah sepenggal Catatan Harian Theodore Herzl yang ditulis pada 13 April 1896. Catatan ini dikutip oleh Akhmad Jenggis P. dalam bukunya, 10 Isu Global di Dunia Islam.
Dalam catatan tersebut, Herzl lugas mengatakan bahwa tanah Palestina yang kala itu dalam kesatuan wilayah Khilafah Utsmani akan dikuasai tepat setelah mereka melenyapkan Khilafah. Tak sendirian, gerakan politik Zionis ini mendapat dukungan penuh dari Inggris. Pada 1917, Inggris yang kala itu menguasai Terusan Suez merasa perlu memiliki Palestina yang terikat dengan Inggris. Tujuannya agar Terusan Suez tetap dalam kendali Inggris. Karenanya melalui Deklarasi Balfour, Inggris menyatakan akan mendukung pendirian negara Yahudi di Palestina.
Gencatan Senjata Mudros: Awal Petaka
Pasca kekalahan Khilafah Utsmani dalam Perang Dunia I, perwakilan Khilafah dan Sekutu Perang Dunia I dari Inggris menandatangani perjanjian gencatan senjata di atas kapal perang Inggris, Agamemnon, di pelabuhan Mudros, Yunani (30/10/1918). Dalam perjanjian tersebut Khilafah harus mengakui kekalahannya pada Perang Dunia I serta menyerahkan wilayahnya untuk dibagi dan dikuasai Sekutu (history.com, 5/11/2009). Perjanjian ini juga memungkinkan sekutu untuk menguasai wilayah kekhilafahan yang berada dalam kondisi yang keamanannya dianggap belum stabil, di antaranya Palestina, Suriah, dan wilayah Arab.
Kontrol Inggris atas Palestina
Dengan dalih menjaga keamanan dunia, pada 10 Januari 1920 Lord Robert Cecil dari Inggris mendirikan Liga Bangsa-Bangsa (LBB). Melalui Sistem Mandat, LBB memercayakan Palestina kepada Inggris pada 24 Juli 1922. Inggris diminta LBB untuk memfasilitasi pendirian pemukiman nasional Yahudi di Palestina (jewishvirtuallobrary.org, British Palestine Mandate: History & Overview). Setelah mandat ini, migrasi besar-besaran Yahudi ke wilayah Palestina terjadi. LBB yang konon didirikan untuk menjaga perdamaian dunia, justru menjadi bidan bagi lahirnya negara penjajah Israel.
‘Negara’ Zionis Tegak Berdiri
Pasca Perang Dunia II, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menggantikan LBB dengan tujuan serupa. Bukannya membaik, nasib Palestina malah makin mengenaskan. Pada 1947, PBB memutuskan untuk membagi Palestina menjadi negara Yahudi dan negara Arab. Kota Yerusalem yang diperebutkan akan berada di bawah kendali internasional (cnbcindonesia, 11/10/2023). Ini jelas menguntungkan penjajah Israel dan merugikan Palestina, pemilik wilayah yang sebenarnya.
Pada Mei 1948, Inggris membubarkan mandatnya dari wilayah Palestina. Para pemimpin Zionis mendeklarasikan Israel sebagai negara merdeka. Wilayah yang dikuasai Israel makin meluas. Penduduk Palestina justru menjadi pengungsi di negara sendiri. Segala sumber daya telah dikuasai Israel.
Dilansir dari cnbcindonesia (30/4/2022), Palestina bahkan tak memiliki tentara reguler, karena dalam dunia internasional Palestina belum dianggap sebagai negara nyata. Pasukan keamanan Palestina yang ada sekarang, terikat perjanjian bilateral dengan Israel dalam hal pembatasan ukuran, persenjataan, dan struktur kekuatan. Tak hanya itu, perjanjian itu memberikan hak istimewa bagi Israel untuk meninjau calon tentara Palestina yang direkrut serta menahan persetujuan jika Israel tak berkenan. Konyol bukan?
Membebaskan Palestina: Menghadirkan Lawan Sepadan untuk Zionis Israel
Meski Israel adalah negara Yahudi, namun sejak awal, gerakannya adalah gerakan politik. Yahudi yang merupakan agama ritual-spiritual tahu bahwa dia tidak akan mampu mewujudkan cita-citanya tanpa menggandeng kekuasaan adidaya ideologis. Di masa itu, negara adidaya kapitalis Inggris menjadi pilihannya. Setelah keadidayaan Inggris digantikan oleh Amerika Serikat pasca Perang Dunia II, Zionis Israel kembali menjalin simbiosis mutualisme bersama adidaya kapitalis yang baru. Kebijakan politik Amerika di Timur Tengah selalu menguntungkan Israel. Balasannya, perputaran kekuasaan di Amerika ditentukan oleh aliran uang Yahudi di Amerika. Media yang dimiliki Yahudi Amerika diarahkan untuk membentuk opini agar penguasa yang setia pada Zionis Israel terpilih.
Oleh karena itu, mustahil umat Islam akan mampu menghentikan penjajahan Israel dari Palestina jika umat Islam tak memiliki gerakan politik dan negara adidaya ideologis yang mengoordinasi kekuatan tentara muslim di seluruh dunia. Negara bangsa yang ada saat ini bertekuk lutut dihadapkan PBB yang berada dalam kendali Amerika. Mustahil negara bangsa yang ada akan mampu membebaskan Palestina dari cengkraman Israel.
Satu-satunya cara logis untuk menghentikan gerakan politik Zionis Israel adalah dengan mewujudkan kembali kekuatan politik umat Islam yang independen yakni Khilafah yang bersandar pada metode kenabian. Di masa lalu Khilafah telah terbukti menjadi benteng pertahanan bagi Baitulmaqdis (Palestina). Di masa depan, Khilafah juga yang pasti kembali menjadi benteng itu. Insyaallah tak lama lagi. Wallahu a’lam. [LM/Ah]
Please follow and like us:

Tentang Penulis