Memilukan! Investor Diundang Rakyat Rempang Ditendang? 

Lensa Media News– FDMPB, Kalau kalangan intelektual sudah angkat bicara berkaitan peristiwa Rempang, maka ini tanda alarm untuk terus menjadi perhatian. Rempang menjadi sorotan tajam akibat bentrok aparat keamanan dengan warga. Maka FGD Fordok #38 mengangkat tema “Konflik Rempang: Investor Diundang Rakyat Ditendang?” Acara live streaming dan zoom meeting mendapatkan atensi serius dari peserta.

 

Hadir narasumber, Assoc. Prof. Dr. Fahmi Lukman, M.Hum (Direktur Inqiyad), Prof Dr Hafidz Abbas (Anggota Komnas HAM), Prof. Dr-Ing H Fahmi Amhar (Cendekiawan Muslim), Dr M Rizal Taufikurrahman (INDEF), dan Dr Ahmad Sastra, MM (Ketua FDMPB). Acara berlangsung pada Kamis, (21/9/2023).

 

Dr. Fahmi Lukman membuka perbincangan dengan mengritisi penerapan ideologi sekularisme. Ideologi yang melahirkan demokrasi dalam sistem politik dan kapitalisme dalam sistem ekonominya.

 

“Sekularisme melahirkan satu sistem perangkat hukum yang tidak berasal dari nilai-nilai agama,”jelasnya.

 

Berkaitan dengan konteks Islam mengatur kesejahteraan, Dr Fahmi Lukman menegaskan, terdapat pembagian harta. Harta milik umum seperti sumber daya alam yang tidak boleh dikuasai asing atau swasta. Harus dikuasai negara dalam rangka menghidupi rakyatnya.

 

“Jadi sumber ekonomi seperti ini Islam memiliki cara membangun masyarkatannya untuk berkemakmuran dan berkeadilan,”jelasnya.

 

Prof Dr Hafidz Abbas mengakui jika banyak misteri berkaitan dengan konflik rempang. Ada yang mau investasi pabrik kaca, butuh 17 ribu hektar.

 

“Kita melihat keajaiban lagi bahwa pulau ini harus dikosongkan. Saya sendiri tidak paham apa beda dikosongkan dan digusur. Jadi ada misteri apa sebenarnya kepentingan pengosongan pulau itu,”ungkapnya terkejut.

 

Perusahaan investasi Cina, Xinyi ternyata tidak masuk 10 besar perusahaan kaca terbesar di dunia. Merupakan suatu kebohongan publik membuat pabrik kaca terbesar kedua di dunia.

 

“Cashflownya saja 81 juta dolar. Kalau investasi dengan 11,5 miliar dolar itu sangat tidak masuk akal. Sehingga yang menyampaikan ini perlu dituntut karena ada pembohongan publik,”bebernya.

 

Suatu yang tiba-tiba (Rempang) dijadikan proyek strategis nasional. Apa urgensinya dilakukan? Hal ini pihak tertentu yang mengetahuinya.

 

Prof Hafidz pun menanyakan kenapa China memberikan deadline 28 September? Kalau sebagai negara berdaulat Indonesialah yang menentukan. Kondisi ini menggelisahkan Indonesia. Semakin kita mengamati kasus rempang ini, terlihat begitu banyak di depan mata satu hal tanda tanya besar. Apa sebenarnya di balik ini semua?

 

“Kalau dilihat dari kacamata HAM, jelas kasus rempang dikategorikan pelanggaran HAM berat bukan pelanggaran HAM biasa. Itu saya lihat di sejumlah instrumen HAM internasional,”ungkapnya.

 

Menarik yang disampaikan oleh Prof Fahmi Amhar. Kronologi kerakusan korporasi sejak 2004, PT Makmur Elok Graha (MEG) milik Tomy Winata mendapat konsesi pengembangan Pulau Rempang. Hingga kini proyek ini tidak berjalan. Tahun 2007 proyek terindikasi korupsi. Tomy Winata sempat diperiksa Bareskrim Polri, namun kasus ini lalu menguap.

 

Akibat pengelolaan Rempang yang semberono, Prof Amhar menegaskan, masyarakat melawan karena lahan yang ditempati sejak 1843 dirampas tanpa kompensasi. Perumahan relokasi belum ada tanda-tanda pembangunannya.

 

“2.600 KK dipaksa tinggal di rusun dengan janji JH Rp 1.034.636 per orang, terbatas 3 orang / KK. Masyarakat menolak. Nafkah mereka yang nelayan dan berkebun, dipaksa tinggal di Rusun?”terangnya.

 

Akar masalah dari kasus Rempang, menurut Prof Amhar ada lima. Pertama, Kapitalisme Agraria. Kedua, Di negeri ini tanah tak bersertifikat, otomatis tanah negara. Ketiga, Negara melalui BPN dapat memberikan hak berupa HGU atau HGB kepada siapapun selama kurun waktu tertentu. Keempat, Negara melalui Kementerian Kehutanan berwenang juga menyatakan sebuah area sebagai kawasan hutan, kadang tanpa melihat keberadaan masyarakat adat di sana. Kelima, Tak heran, ada 25.863 desa berada di dalam atau berbatasan dengan kawasan hutan.

 

Prof Amhar menilai kasus Rempang ini bentuk kezaliman. Karenanya beliau mendorong negara membangun sistem informasi wilayah seluruh NKRI secara adil dan transparan.

 

“Allah memberikan kekayaan yang melimpah baik di atas tanah maupun di dalam tanah. Pun di lautan. Salah satunya sumber daya alam adalah pasir silika (pasir kuarsa) yang menjadi bahan baku pembuatan kaca dan panel surya,”terang Dr M Rizal dari INDEF di awal diskusi.

 

Sebagai masyarakat yang tinggal di sana, Dr Rizal menjelaskan bahwa ini menunjuk tekanan atas perampasan lahan dan buruknya keberpihakan pemerintah kepada rakyat yang selalu beralasan atas nama investasi. Mengapa pemerintah begitu kerasnya?

 

“Ini buah dari UU Omnibuslaw kita tahu dalam prosesnya menjadi dasar supaya investasi diberikan karpet merah di Indonesia. Implementasinya banyak kendala dan masalah. Realisasi investasi juga rendah dalam menciptakan lapangan kerja. Ini pernah disampaikan Menko Perekonomian,”terangnya.

 

Dr Ahmad Sastra memerikan perspektif yang cukup unik terkait Rempang. Indikator yang muncul di lapangan yang pertama ada penolakan relokasi. Kemudian penolakan pengambilan paksa. Tidak disiapkan tempat penggantinya. Tidak ada musyawarah dan kesepakatan. Rakyat pun dirugikan dan terjadi sebuah kedzaliman.

 

”Banyaknya protes dari elemen masyarakat lintas organisasi dan wilayah. Karena itu ini bukan hanya melanggar sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Di situ tidak ada keadilan dan keadaban karena ada kekerasan,”jelasnya.

 

Dari perspektif Islam konflik Rempang terjadi banyak pelanggaran hukum-hukum Islam. Sebab inti dari Islam adalah iman dan amal soleh. Ketika perilaku berasal dari ideologi kapitalisme dan sosialisme jelas di kasus Rempang tidak ada adab.

 

“Islam melakukan transformasi perbaikan masyarakat. Hukum-hukum Islam sangat manusiawi dalam artian Islam untuk manusia. Sehingga dalam Islam kalau mendzalimi atau membunuh manusia sama seperti membunuh semua manusia,”ungkapnya.

 

Lebih lanjut Dr Sastra mengutarakan, Investasi, hutang dan privatisasi dalam sistem kapitalisme sekuler adalah bentuk neokolonialisme di negeri-negeri muslim. Di zaman Belanda, bermula dari investasi berubah menjadi invasi. Adapun sistem politik dan kepemimpinan Islam sangat memperhatikan aspek kemanusiaan, keadilan dan keadaban dalam menyelesaikan masalah agraria. Sementara sistem kapitalisme komunisme penuh kezaliman.

 

Acara Fodok 38 ini mendapat atensi yang luar biasa dan meluas. Hal ini dapat diamati dari pemirsa yang hadir secara live ataupun di ruang zoom meeting. Semoga ini menjadi pencerdasan dan pemahaman untuk khalayak umum jika Islam mampu menghadirkan solusi dari persoalan yang ditimpulkan kapitalisme dan sosialisme kini.  Hanif Kristianto (Analis Politik-Media di Pusat Kajian dan Analisis Data) [LM/ry].

Please follow and like us:

Tentang Penulis