Harga Beras Terus Memanas
Oleh: Yani Ummu Qutuz
(Pegiat Literasi dan Member AMK)
LensaMediaNews__Beras merupakan bahan makanan pokok rakyat Indonesia. Walaupun sudah makan roti atau jenis karbohidrat yang lain, kalau belum makan nasi masih berasa belum makan. Saat ini harga beras terus melambung, hal ini membuat para keluarga merasa berat menanggung beban kebutuhan sehari-hari.
Dikutip dari detikNews, 15-9-2023, pantauan harga beras di sejumlah pasar masih tinggi. Di pasar Kemayoran, Jakarta Pusat, harga beras pulen naik dari Rp9.000 per liter menjadi Rp10.500 per liter untuk kualitas bawah dan Rp11.000 per liter untuk kualitas medium. Sementara untuk beras pera mengalami kenaikan rata-rata Rp2.000 hingga Rp3.000, menjadi Rp12.500 per liter. Pandan wangi naik menjadi Rp14.000 dari Rp12.000 per liter.
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri, Isya Karim, mengungkap kenaikan harga beras yaitu berkurangnya pasokan beras dalam negeri karena berakhirnya panen. Di samping itu juga karena adanya penurunan produksi akibat efek El Nino. Efek El Nino ini berdampak pada gagal panen akibat kemarau panjang sehingga pasokan air berkurang yang menyebabkan tanaman rusak.
Berbagai upaya dilakukan oleh pemerintah untuk menormalisasi harga beras, seperti kebijakan impor beras, operasi pasar, penguatan cadangan beras, pemantauan ketersediaan beras SPHP (stabilitas pasokan dan harga pangan) di pasar rakyat secara berkala, dan lain-lain. Setahun upaya tersebut di lakukan, namun belum membuahkan hasil.
Perlu diketahui, bahwa rantai tata niaga beras di Indonesia panjang dan rumit. Setiap pelaku yang terlibat di dalamnya mengambil margin keuntungan. Hal ini menjadikan harga yang sampai pada konsumen melambung tinggi. Begitu juga pengendalian harga, bisa dengan mudah dilakukan oleh para pedagang besar. Meskipun pasokan berlimpah tapi harga dimainkan, maka kenaikan harga tidak bisa dihindari.
Masalah lain yang tak kalah penting yaitu tata kelola pangan yang berkaitan dengan konversi lahan yang terkait dengan para kapitalis. Saat ini banyak lahan pertanian yang beralih fungsi menjadi industri dan perumahan. Lahan-lahan subur ditanami tiang pancang demi kepentingan pengusaha. Belum ada kebijakan yang jelas terkait hal ini karena memang pajak dari industri dan perumahan sangat menjanjikan.
Biaya produksi yang tinggi, seperti sewa lahan yang mahal, harga benih dan pupuk yang tinggi menjadikan harga gabah melonjak naik. Ini pun menjadi problem yang tidak bisa dihindari ikut berpengaruh terhadap naiknya harga beras. Beginilah jika posisi negara hanya sebagai regulator, yaitu hanya menjalankan regulasi sesuai arahan para pemilik cuan. Negara tidak berdaya dalam mewujudkan kedaulatan pangan.
Berbeda dengan Islam, negara bertanggung jawab dalam mengurus urusan rakyat, apalagi berkaitan dengan masalah pangan yang merupakan kebutuhan dasar masyarakat. Negara wajib menjamin ketersediaan kebutuhan pokok dengan memperkirakan kecukupannya, serta memastikan setiap kebutuhan individu terpenuhi. Islam melarang penguasa dalam mematok harga. Islam memiliki mekanisme agar ketersediaan pangan dan harganya tetap stabil.
Islam melarang kaum muslim untuk bergantung pada asing agar negara bersifat independen, namun bukan berarti melarang impor. Selama memenuhi kriteria syariat, seperti larangan bekerja sama dengan kafir harbi.
Untuk mewujudkan ketahanan pangan, negara memiliki kebijakan dalam negeri, yaitu ekstensifikasi dan intensifikasi pertanian. Ekstensifikasi berhubungan dengan penyediaan lahan pertanian dan meminimalkan alih fungsi lahan. Sementara intensifikasi dengan cara meningkatkan kualitas benih, pupuk, metode pertanian, dan sebagainya.
Negara juga mengatur distribusi, memotong rantai distribusi sehingga bisa menekan biaya. Kalaupun terjadi kenaikan tidak akan tinggi. Bagi yang melakukan kecurangan ada sanksi tegas, yang membuat jera para pelaku kejahatan. Semua ini dilakukan atas dorongan keimanan kepada Allah. Hal ini hanya akan bisa dilakukan oleh negara yang menerapkan aturan Islam secara kaffah. Wallahu ‘alam bishshawab.