ASN Naik Gaji: Strategi Menarik Simpati?
Oleh. Yulweri Vovi Safitria
(Ibu Pembelajar)
Lensa Media News-Naik gaji. Dua kata yang tentu diidam-idamkan setiap pekerja, baik swasta, ASN, maupun buruh harian. Apa lagi di tengah krisis ekonomi yang belum tahu kapan segera berakhir. Sementara harga kebutuhan pokok makin melonjak naik dan sulit didapat. Maka kenaikan gaji adalah harapan agar dapur tetap ngepul.
Dalam rangka Penyampaian RUU APBN 2024 dan Nota Keuangan di Kompleks Parlemen Senayan, Presiden Joko Widodo memastikan gaji Aparatur Sipil Negara (ASN) naik sebesar 8 persen dan tunjangan pensiun naik sebesar 12 persen. Hal ini guna meningkatkan kinerja serta mengakselerasi transformasi ekonomi dan pembangunan nasional (cnbcindonesia, 16-8-2023).
Tradisi Jelang Pesta Demokrasi
Kenaikan gaji biasanya akan dibarengi dengan laju inflasi. Namun, pemerintah menyatakan bahwa kenaikan gaji pegawai sipil negara tidak akan memicu laju inflasi pada 2024 yang ditargetkan 2,8 persen (republika.co.id, 23-8-2023). Benarkah demikian?
Jika melihat fakta hari ini, masyarakat masih di bawah ancaman tingginya harga-harga bahan pokok. Sebut saja beras sebagai bahan pokok. Berdasarkan Data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional (PIHPSN), harga beras kualitas medium pada akhir Juli 2022 masih dibanderol Rp11.750/kg, tetapi saat ini sudah mencapai Rp13.650/kg, yakni naik 16 persen dalam setahun. Belum lagi kebutuhan lain, seperti biaya sekolah yang melonjak naik. Demikian pula dengan harga gula pasir berada di Rp14.700 per kg, telur ayam ras dibanderol Rp31.900 per kg.
Meski alasan pemerintah menaikan gaji dan tukin adalah guna meningkatkan kinerja serta mengakselerasi transformasi ekonomi dan pembangunan nasional, tetapi tetap saja menimbulkan beragam dugaan. Apalagi kenaikan gaji ini dilakukan pada masa-masa tahun politik menjelang pemilu 2024. Maka tidak heran jika timbul dugaan sebagai basa-basi untuk menarik simpati masyarakat sebagai strategi kampanye untuk memenangkan hajatan nasional tahun depan.
ASN Sejahtera dengan Islam
Upah adalah kompensasi jasa, bukan kompensasi tenaga atau jerih payah. Maka penentuan upah di dalam Islam bukanlah didasarkan pada produktivitas kerja karena setiap orang memiliki produktivitas yang berbeda-beda. Penentuan upah bukan pula berdasarkan harga-harga karena hal tersebut akan mengendalikan upah seorang. Sebagaimana yang dilakukan oleh sistem kapitalisme.
Dalam Islam, perihal gaji pekerja diatur dengan jelas. Begitu pula dengan penentuan upah yang semata-mata dilakukan oleh mereka yang memiliki keahlian menentukan upah, bukan negara atau siapa pun, juga bukan berdasarkan kebiasaan penduduk suatu negara. Rasulullah saw. bersabda, “Apabila salah seorang di antara kalian mengontrak seorang pekerja, hendaknya ia memberitahukan upahnya kepadanya.” (HR Ad-Daruquthni, dari Ibnu Mas’ud ra.)
Dalam Islam, penentuan upah didasarkan pada keahlian masing-masing pekerja sehingga upah para pekerja bisa berbeda-beda dan beragam sesuai dengan keahliannya pula. Sebab jika tidak demikian, tentu upah seorang pemecah batu akan lebih besar ketimbang seorang guru karena jerih payahnya lebih besar, padahal justru sebaliknya. Seorang guru memiliki peran yang begitu besar dan mulia.
Terkait kesejahteraan setiap individu (termasuk ASN), maka diukur berdasarkan terpenuhinya kebutuhan primer, yakni sandang, pangan, papan, yang dijamin oleh negara secara individu per individu. Negara juga penanggung jawab pembiayaan urusan publik, seperti kesehatan, pendidikan, ataupun transportasi sehingga gaji warga tidak habis untuk membiayai kebutuhan asasi tersebut.
Rasulullah saw. bersabda, “Imam/Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat diurusnya.” (HR Muslim dan Ahmad).
Dengan demikian, laju inflasi bisa ditekan dan keberadaan uang yang beredar di tengah masyarakat bisa berkurang karena tidak semua biaya hidup ditanggung oleh masyarakat berasal dari gaji yang mereka terima.
Khatimah
Islam secara gamblang menerangkan bahwa apa saja yang diatur berdasarkan syariat-Nya terbukti mampu memberikan kesejahteraan. Termasuk penetapan gaji ASN yang tidak berdasarkan pada prodiktivitas kerja, harga-harga, maupun biaya kebutuhan. Lantas, apa lagi alasan kita untuk tidak memperjuangkan tegaknya kembali syariat Islam di bumi-Nya? Wallahu a’lam bisshawwab. [LM/ry].