Kejar Wisata Halal, SDA Jatuh ke Tangan Asing

Oleh: Leora Andovita

 

Lensa Media News-Sejak tahun 2011, CrescentRating bekerja sama dengan MasterCard memberikan penilaian kepada negara-negara dalam ajang pariwisata halal untuk wisatawan muslim. Indonesia sebagai negara dengan jumlah muslim terbanyak di dunia pun ikut serta berkompetisi meraih peringkat tertinggi. Berdasarkan indeks peringkat GMTI (Global Muslim Travel Index), Indonesia tercatat mengalami kenaikan peringkat secara signifikan dalam dalam kurun waktu 8 tahun terakhir. Kini di tahun 2023 peringkat satu negara dengan wisata halal terbaik dinobatkan pada Indonesia mengungguli Malaysia, Arab Saudi, Uni Emirat Arab dan Turki.

 

Pencapaian tersebut tentu saja membuat pemerintah bersorak sekaligus juga sebagai pembuktian kepada dunia bahwa Indonesia mampu bangkit pascapandemi melalui sektor pariwisata. Tentu saja ini merupakan prestasi yang luar biasa bagi sebuah negara yang sedang berkembang agar semakin memperoleh pengakuan dunia internasional. Disamping itu, wisata halal juga akan memberikan kontribusi yang sangat berarti sebagai bentuk strategi ekonomi meningkatkan devisa yang tentu saja menguntungkan bagi negara untuk mensejahterakan rakyat.

 

Berlakunya kebijakan wisata halal atau dengan istilah lain disebut Muslim-friendly tourism dan segala konsep yang mengusungnya sangat berpotensi sebagai sumber pemasukan negara. Global Islamic Economy Report menyebutkan perputaran uang dari wisata halal dunia diprediksi meningkat dari USD 177 miliar (2017) menjadi USD 274 miliar pada tahun 2023, sehingga pemerintah Indonesia semakin yakin atas potensi wisata halal yang dimiliki dapat meningkatkan devisa yang bernilai tinggi.

 

Namun hal itu malah menimbulkan kerancuan, karena sesungguhnya Indonesia memiliki satu potensi besar yang dapat menjamin kebutuhan negara dan rakyat yaitu potensi sumber daya alam (SDA) seperti minyak bumi, gas, dan batu bara. Dengan begitu melimpahnya kekayaan alam di Indonesia seharusnya negara tidak perlu mengalihkan pemerolehan pendapatan negara ke sektor non strategis. Disisi lain, kekayaan alam yang begitu melimpah adalah suatu ironi karena kekayaan tersebut tidak dapat dinikmati hasilnya oleh rakyat.

 

Sebagai contoh dari pernyataan diatas, fakta pendapatan PT Freeport-McMoran Inc. milik Amerika Serikat yang mengelola tambang emas dan tembaga mencapai USD 22,78 atau setara dengan Rp. 341,70 triliun sepanjang tahun 2022. Jumlah tersebut tidak sebanding dengan laporan Kemenkeu yang menyatakan bahwa hasil pendapatan SDA yang diterima oleh negara yakni Rp.74,4 triliun. Selain Freeport, terdapat 4 perusahaan asing lain yang juga mengeruk kekayaan alam Indonesia dan mendulang banyak harta jauh melebihi penerimaan negara disektor ini. Hal ini menambah deretan fakta bahwa pengelolaan kekayaan alam Indonesia diraup oleh perusahaan asing, kekayaan alam Indonesia dikeruk, rakyat Indonesia terpuruk dalam kemiskinan yang terstruktur.

 

Memang benar, jika disandingkan dengan  Islam, sektor wisata dalam sistem Khilafah memang dapat menjadi sumber devisa, tetapi bukanlah menjadi sumber perekonomian andalan bagi pemasukan negara. Wisata dalam Khilafah dimanfaatkan sebagai sarana dalam dakwah dan di’ayah (propaganda) untuk syiar agama Islam, sehingga menjadikan siapapun yang menyaksikan keindahan alam atau peninggalan bersejarah peradaban Islam merasa takjub dan mengagungkan ciptaan Allah. Idealnya, pemasukan negara berasal dari pos kepemilikan negara, umum, dan zakat seperti yang dilakukan dalam Khilafah.

 

Namun demikian, tentu saja hal tersebut bertolak belakang dengan kebijakan negara saat ini, yakni menjadikan sektor pariwisata bertajuk wisata halal sebagai primadona yang dapat menopang perekonomian. Padahal sejatinya Indonesia memiliki SDA yang begitu melimpah, sayangnya sumber tersebut tidak dikelola sebagaimana mestinya. Alhasil, perekonomian negara makin terperosok dan rakyat makin terpojok dalam kemiskinan. [LM/ry].

Please follow and like us:

Tentang Penulis