Bacaleg Eksnapi Korupsi, Buruknya Tatanan ala Demokrasi
Oleh: Yuke Octavianty
(Forum Literasi Muslimah Bogor)
LensaMediaNews__Ajang kontestasi sebentar lagi digelar. Namun sayang, ada beberapa bakal calon legislatif yang merupakan eksnapi kasus korupsi. Layakkah pemimpin semacam ini menjadi pemimpin yang diharapkan rakyat? Lantas seperti apakah kriteria pemimpin ideal yang layak memimpin rakyat?
Pemimpin ala Demokrasi, Merusak Nasib Negeri
ICW (Indonesian Corruption Watch) menemukan setidaknya ada 15 bakal calon legislatif yang termasuk dalam daftar calon sementara di tingkat DPR, DPRD dan DPD yang diumumkan Komisi Pemilihan Umum, pada 19 Agustus lalu (voaindonesia.com, 26/8/2023). Menanggapi fenomena tersebut, Kurnia Wardhana, peneliti ICW, berpendapat sungguh menyayangkan saat partai politik masih memberikan karpet merah pada eksnapi korupsi. ICW pun menyayangkan sikap KPK yang tak tegas dan segera dalam memastikan status hukum mereka.
Hal ini tentu akan menyulitkan masyarakat dalam memberikan masukan terkait Daftar Calon Sementara (voaindonesia.com, 26-8-2023). Apalagi KPU tak mencantumkan daftar riwayat hidup para caleg. Masyarakat pun makin bingung dan tak mampu optimal dalam memilih pemimpin. Bak membeli kucing dalam karung. Semuanya tak jelas. Kurnia melanjutkan bahwa KPU terkesan tertutup pada khalayak luas. Tak ada itikad baik dalam menuntaskan korupsi dan tidak terbuka dalam pelaksanaan pemilu. Fakta tersebut jelas mempersulit rakyat dalam menentukan pilihan. Padahal rakyat menghendaki pemimpin yang amanah dan adil mengurusi rakyat.
Fenomena caleg ekskoruptor pun ramai dipertanyakan warganet. Salah satu syarat menjadi bacaleg adalah kepemilikan SKCK (Surat Keterangan Catatan Kebaikan). Lantas apa gunanya SKCK, jika yang bersangkutan merupakan eksnapi koruptor? Fakta tersebut diberondong para netizen (CNNIndonesia.com, 22-8-2023). Maka wajar saja, saat pemimpin yang terpilih semakin memperburuk nasib rakyatnya. Bukannya mengurusi kepentingan rakyat, pemimpin yang ada justru malah menggerogoti masa depan rakyat.
Keputusan mengenai diperbolehkannya eksnapi menjadi bacaleg telah diatur putusan Mahkamah Agung no. 30P/HUM/2018 (CNNIndonesia.com, 24/8/2023). MA berpendapat pelarangan eksnapi koruptor yang nyaleg bersinggungan dengan masalah Hak Asasi Manusia (HAM), yaitu aturan hak politik warga negara untuk memilih dan dipilih. Tak hanya itu, MA pun beralasan adanya tumpang tindih aturan. Keputusan MA tersebut jelas bertabrakan dengan konstitusi yang ada. Bahkan dikatakan telah menabrak empat undang-undang yang ditetapkan. Alasannya hanya KPU yang berhak mengatur larangan eksnapi koruptor untuk nyaleg, bukan dari kebijakan undang-undang.
Pada waktu yang bersamaan, UU Pemilu tak mengatur rincian aturan ekskoruptor nyaleg. Sehingga dapat dikatakan bahwa larangan tersebut adalah norma baru yang sama sekali tak diatur dalam undang-undang.
Inilah fakta penetapan pemimpin ala demokrasi kapitalistik. Sosok pemimpin yang ada tak mampu memberikan teladan yang baik dalam kiprah kepemimpinannya. Justru sebaliknya, calon pemimpin dengan kriteria yang buruk yang disajikan di tengah umat. Sudah bisa dipastikan, proses kepemimpinan ke arah depan tak mampu menjanjikan harapan yang diimpikan masyarakat secara umum. Wajar adanya jika rakyat pun jengah dan muak dengan keadaan ini.
Pemimpin ala demokrasi kapitalistik ditetapkan atas dasar keserakahan penguasa. Tujuannya hanya kekuasaan dan keuntungan materi. Sementara amanah pemimpin yang utama, yaitu mengurusi semua urusan rakyat, dilalaikan begitu saja. Kehidupan rakyat makin sengsara karena buruknya kepemimpinan.
Parahnya lagi, setiap kebijakan dan aturan yang telah ditetapkan dijegal begitu saja. Semua ditetapkan berdasarkan pesanan penguasa. Dengan dalih HAM, semua pelanggaran dilakukan demi kekuasaan dan keserakahan. Jelas, ketetapan ini adalah kezaliman dan pengkhianatan terhadap urusan rakyat.
Betapa buruk sistem demokrasi dalam mengurusi rakyat. Sistem ini tak layak dijadikan sandaran pengaturan, apalagi dijadikan pedoman. Benar-benar absurd. Semestinya, sistem ini sesegera mungkin dicampakkan, karena hanya melahirkan keburukan dan kesengsaraan rakyat.
Pemimpin dalam Sistem Islam
Sistem Islamlah satu-satunya sistem yang menjanjikan harapan. Sistem yang amanah dalam menetapkan pemimpin. Kriteria pemimpin yang ditetapkan dalam syariat Islam menuntut tanggung jawab penuh. Sehingga setiap tugas dan amanah yang diemban mampu berjalan optimal sesuai syariat, dan tentunya sesuai harapan rakyat seluruhnya. Beberapa kriteria pemimpin dalam Islam, diantaranya memiliki akidah Islam, laki-laki, baligh, sempurna akalnya, sehat dan mujtahid (diutamakan).
Syarat yang ditetapkan syariat wajib dipenuhi demi terselenggaranya kepemimpinan yang amanah. Dengan dasar akidah Islam yang kokoh, setiap pemimpin menyadari bahwa kepemimpinannya adalah amanah besar yang harus dipertanggungjawabkan di hari hisab kelak.
Rasulullah SAW. bersabda,
“Sesungguhnya kepemimpinan merupakan sebuah amanah, di mana kelak di hari kiamat akan mengakibatkan kerugian dan penyesalan. Kecuali mereka yang melaksanakannya dengan cara baik, serta dapat menjalankan amanahnya sebagai pemimpin.” (HR Muslim)
Pemimpin adalah ujung tombak yang menjaga setiap nyawa rakyat. Pemimpin yang amanah hanya mampu terlahir dalam sistem yang amanah pula, yakni sistem Islam dalam wadah institusi Khilafah. Khilafah bagai perisai yang menjaga umat dari segala bentuk keburukan. Setiap urusan rakyat adalah prioritas utama.
Hanya dengan sistem Islamlah, pemimpin mampu bertanggung jawab penuh atas segala kebutuhan rakyat. Demi ketaatan dan ketundukan yang utama kepada Allah Azza wa Jalla. Dengannya hidup menjadi berkah, dan rahmat Allah SWT pun tercurah untuk seluruh makhluk.
Wallahu a’lam bisshawwab.