Udara Jakarta Memburuk, Masyarakat Makin Terpuruk
Oleh: Maulinda Rawitra Pradanti, S.Pd.
Lensamedianews.com, Opini – Sudah sebulan media merilis tentang kondisi udara di Jakarta dan sekitarnya. Bukannya makin membaik, ternyata makin menduduki peringkat terburuk kualitas udara. Data IQAir dan Nafas Indonesia, teknologi yang bisa memantau kualitas udara, menunjukkan bahwa Jakarta, Tangerang, dan kota di sekitarnya masuk dalam 5 kota di Indonesia yang memiliki kualitas udara terburuk (fokus.tempo.co, 18/08/2023).
Kabar terbaru yang diambil dari situs IQAir pukul 09.15 WIB pada 28 Agustus 2023, menunjukkan bahwa indeks kualitas udara Jakarta berada di angka 163 US Air Quality Index. Dari angka tersebut, Jakarta menduduki peringkat kedua di dunia dengan kualitas udara terburuk.
Informasi mengenai buruknya polusi udara di ibu kota dan sekitarnya, justru muncul dari lembaga nonpemerintah, baik individual atau komunitas. Setelah keresahan itu menjadi perhatian publik dan mendapat kritik dari masyarakat, barulah pihak pemerintah menggelar rapat pembahasan tentang polusi udara yang dipimpin langsung oleh Presiden RI.
Namun setelah rapat digelar, ternyata hasil rapat belum menyentuk pokok masalah. Pemerintah hanya mengeluarkan usulan untuk WFH bagi 50% PNS di lingkungan Pemprov DKI Jakarta. Jelas usulan ini tidak menuntaskan secara tuntas. Hanya mengurangi, bukan menghilangkan.
Pun dengan kondisi ini, solusi yang ditawarkan seperti saat Covid-19 menyerang yakni sebatas upaya melindungi diri sendiri. Seperti memakai masker, memasang penyaring udara, menutup jendela, dan menghindari aktivitas di luar rumah. Adapun yang dilakukan pemerintah adalah penyemprotan di sejumlah ruas jalan protokol Ibu Kota yang dinilai akan menurunkan PM 2,5. (liputan6.com, 28/08/2023).
Pun dengan kondisi ini, solusi yang ditawarkan seperti saat Covid-19 menyerang yakni sebatas upaya melindungi diri sendiri. Seperti memakai masker, memasang penyaring udara, menutup jendela, dan menghindari aktivitas di luar rumah. Adapun yang dilakukan pemerintah adalah penyemprotan di sejumlah ruas jalan protokol Ibu Kota yang dinilai akan menurunkan PM 2,5. (liputan6.com, 28/08/2023).
Jelas, upaya ini bukanlah solusi yang menuntaskan permasalahan udara Jakarta dan sekitarnya. Terlebih lagi ini bukan masalah baru yang masyarakat buta dengannya. Masyarakat pun di buat geram atas ketimpangan kebijakan yang dikeluarkan, seperti pengarusan industrialisasi di ibu kota dan sekitarnya.
Pengarusan industrialisasi ini tak terlepas dari arah para kapital yang ingin menguasai dunia. Kapitalisme memang sedang menguasai dunia. Tak hanya satu bidang, bahkan seluruh bidang akan berusaha dikuasainya. Tak peduli bagaimana imbas pada kondisi masyarakat sekitar. Buktinya, meski kondisi udara telah buruk, tetapi industri tetap diizinkan beroperasi walaupun masyarakat sudah berteriak tentang polusi yang dihasilkannya.
Menurut Al Muktabar, ada sekitar 40 perusahaan di Banten yang masih bergantung pada energi fosil dan terbukti menjadi penyumbang tinggi polusi udara. Belum lagi industri di kota-kota lain, seperti Tangerang atau Jakarta itu sendiri.
Selain perusahaan skala besar yang tetap beroperasi siang-malam, ada pula mobilisasi kendaraan yang semakin padat. Meski sudah ada imbauan untuk menggunakan fasilitas umum seperti trans-Jakarta, KRL, atau bahkan dengan sepeda listrik dan mobil listrik, tetap saja ada polutan yang dihasilkan.
Kebijakan ini seolah saling bertabrakan. Ada yang menghendaki untuk meminimalisir polusi, tetapi roda ekonomi tetap digenjot dengan memasukkan transportasi jenis terbaru atau pembangunan industri lagi. Inilah bukti bahwa para kapital telah menguasai pasar. Siapa yang berduit, dia berhak membangun usaha yang diinginkan.
Maka benar, bahwa kebijakan atau solusi yang ditawarkan adalah yang sejalan dan tidak merugikan para kapital tersebut. Alhasil, masyarakat umumlah yang dirugikan.
Oleh karena itu, penyelesaian masalah ini bukan hanya perkara teknis, tetapi juga perlu ditelusuri akar masalahnya, yakni asas kapitalisme. Sehingga yang mampu melawan adalah begara yang bisa menghilangkan kondisi negerinya atas cengkeraman ini.
Untuk itu, rujuklah sistem pengaturan di dalam Islam sebagai solusi atas masalah ini. Islam mengatur bahwa kebijakan yang dikeluarkan oleh penguasa adalah kebijakan yang berbasis syariat Islam dan mengedepankan kemaslahatan rakyat secara umum, bukan personal atau kelompok tertentu, bahkan lingkungan pun diperhatikan.
Islam juga akan mendorong penguasa untuk memanggil para ahli supaya melakukan riset atas dampak yang akan ditimbulkan. Ditambah pula dengan penguatan dari sistem yang lain, seperti sistem pendidikan yang berbasis Islam untuk membentuk masyarakat bertakwa dan tidak disibukkan aktivitas duniawi seperti budaya hedonisme dan konsumerisme layaknya orang Barat.
Dengan begitu, tidak ada pengarusan industrialisasi secara besar-besaran yang akan menimbulkan banyak polusi. Wallahu a’lam. [LM/Ah]
Please follow and like us: