Ironis, Kelaparan di Papua Di Tengah SDA Berlimpah

Oleh: Esnaini Sholikhah, S.Pd
(Pendidik dan Pengamat Sosial)

LenSa Media News – Kelaparan di Kabupaten Puncak, tepatnya Distrik Agandugume dan Lambewi, Provinsi Papua Tengah, memakan korban jiwa 6 warga, yakni 5 dewasa dan 1 bayi berusia 6 bulan. Para korban meninggal usai mengalami lemas, diare, panas dalam, dan sakit kepala akibat tidak ada makanan sebagai dampak musim kemarau. Kejadian ini juga berdampak pada sedikitnya 7.500 orang yang gagal panen akibat kekeringan yang telah terjadi selama dua bulan terakhir (Inews.id,2/8/2023).

Wakil Presiden (Wapres) Ma’ruf Amin menegaskan masa tanggap darurat bencana kekeringan dan kelaparan yang melanda Distrik Agandugume dan Distrik Lambewi di Kabupaten Puncak, Papua Tengah ditambah menjadi 2 minggu dari sebelumnya 1 minggu. Pengiriman bantuan juga telah dilakukan sebagai tindak lanjut kekeringan dan kelaparan di Papua, meskipun upaya pengiriman masih terkendala oleh cuaca dan akses pendistribusian bantuan (Sindonews, 2/8/2023).

Bupati Puncak, Willem Wandik menegaskan, jika memperhatikan dampak bencana kekeringan yang terus terjadi, kemungkinan bencana akan berkepanjangan. Untuk itu, ia bersama dengan masyarakat Distrik Agandugume dan Lambewi, serta dukungan TNI/Polri, menyatakan jaminan keamanan dan keselamatan kepada pilot maupun pesawat yang melakukan pelayanan angkutan bantuan bencana kekeringan langsung ke Bandara Agandugume.
Sejatinya, kita semua tahu bahwa Freeport sebagai perusahaan yang mengelola SDA tambang emas yang kaya nan melimpah, dan keberadaannya sebagai perusahaan tambang emas yang sudah hampir setengah abad berada di Papua, tetapi tidak berdampak apa-apa bagi kesejahteraan masyarakat Papua. Padahal jika kita telisik berbagai kekayaan SDA di Papua, hasilnya mampu mensejahterakan per individu warga Papua. Menurut data ESDM, Kekayaan SDA Papua, diantaranya meliputi emas, minyak, gas bumi, tembaga, serta perak. Kementerian ESDM mencatat (2020), Papua memiliki tambang emas terbesar di Indonesia dengan luas mencapai 229.893,75 ha atau senilai 52% dari total cadangan bijih emas Indonesia. Sayangnya, melimpahnya SDA Papua itu tidak membuatnya menjadi wilayah yang kaya, justru wilayahnya sudah menjadi target asing.

Sudah bukan rahasia lagi, kelaparan di Papua ini diakibatkan oleh sistem kapitalisme yang diterapkan di negeri ini. Kapitalisme yang dimana sistem ekonominya memberikan kebebasan pada para kapital (pemilik modal) untuk menguasai SDA. Dimana sistem ini menjadikan faktor kelangkaan barang sebagai dalih saat terjadi krisis kesejahteraan, padahal sesungguhnya yang terjadi adalah buruknya distribusi ekonomi/kekayaan. Sedangkan penguasa di sistem ini bertindak sebagai pembuat kebijakan. Maka, terjadinya kelaparan di Papua yang tanahnya kaya SDA, bukan sekadar soal perubahan cuaca, apalagi kendala sulitnya medan saat penyaluran bantuan, tetapi abainya negara dalam menjamin kesejahteraan rakyatnya. Karena SDA yang seharusnya hak rakyat justru dijual ke asing. Alhasil, berbagai persoalan Papua tidak bisa diselesaikan jika sistem kapitalisme yang dijadikan solusi.

Kondisi ini sungguh berbeda dengan sistem Islam (Khilafah). Islam tidak akan membiarkan rakyatnya dalam kelaparan, apalagi timbul korban jiwa. Munculnya gejala kelangkaan barang sudah membuat Khilafah harus mengoreksi total keberlangsungan distribusi ekonominya, agar kelangkaan barang jangan sampai terjadi, bahkan sampai terjadi kelaparan. Khilafah akan menjaga keberlangsungan dan keseimbangan distribusi ekonomi serta menjamin agar semua rakyat bisa makan dengan porsi cukup tanpa ancaman kelaparan. Allah Taala berfirman, “… supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu…” (QS Al-Hasyr [59]: 7).

Dalam Islam seorang pemimpin akan belajar dari kisah Khalifah Umar bin Khaththab ra. Pada suatu malam, Khalifah Umar berkeliling untuk melihat kondisi rakyatnya. Sampailah Umar di sebuah gubuk dan mendengar suara tangis anak kecil. Ibu si anak sedang mengaduk panci, sambil sesekali membujuk anaknya untuk tidur. Umar mendekat, dan bertanya tentang apa yang sedang dimasak ibu. Si ibu berkata bahwa anaknya menangis karena kelaparan, sedangkan ia tidak punya makanan. Tanpa pikir panjang, Umar segera pulang dan mengambil sekarung gandum. Umar langsung memasak sebagian gandum dan setelah matang ibu dan anak tersebut dipersilakan makan sampai kenyang. Umar kemudian berpesan agar esok harinya si ibu dan anaknya datang ke Baitul mal.

Demikianlah semestinya visualisasi kaum muslim terhadap kinerja pemimpin beserta sistem yang melahirkan sosoknya. Jelas, hanya dalam Khilafah akan dihasilkan sosok-sosok pemimpin sekelas Umar bin Khaththab. Bukanlah sosok yang sibuk berkelit, dan mencari kambing hitam saat rakyatnya kelaparan. Beliau langsung sadar diri akan kelalaiannya, mohon ampun kepada Allah, dan segera melakukan langkah konkret menanggulangi kesusahan rakyatnya.

Wallahualam bissawab

(LM/SN)

Please follow and like us:

Tentang Penulis