Wacana Kenaikan Iuran BPJS, Bukti Nyata Kapitalisasi Kesehatan

Oleh: Nurhayati S.S.T.

(Pemerhati Kebijakan Publik)

 

Lensa Media News-Layanan kesehatan nampaknya menjadi polemik sampai hari ini. Bagaimana layanan kesehatan hari ini masih diklasifikasikan berdasarkan golongan sehingga muncul kesan yang memiliki uang banyak dapat mendapat pelayanan terbaik dan kalangan menengah kebawah hanya mampu mendapatkan fasilitas seadanya.

 

Muncul wacana kenaikan iuran BPJS sebagai Langkah untuk menghindari defisit BPJS, yang diperkirakan terjadi di Agustus-September 2025. Hal ini dibenarkan oleh Menkeu, Sri Mulyani mengusulkan iuran peserta kelas I BPJS Kesehatan naik 2 kali lipat yang semula Rp 80.000 jadi Rp 160.000 per bulan untuk JKN kelas II naik dari Rp 51.000 menjadi Rp110.000 per bulan (Liputan6.com, 23/7/2023).

 

Anggota BPJS Watch Timboel Siregar mengatakan iuran BPJS justru harusnya naik mulai 2024. Pasalnya dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 tahun 2020 tentang perubahan kedua atas Perpres 82 tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan, besaran iuran ditinjau paling lama dua tahun sekali (Cnnindonesia.com, 22/7/2023).

 

Padahal seharusnya yang perlu diperhatikan bukan hanya soalan kenaikan saja namun juga harus diiringi perbaikan pelayanan kesehatan yang tidak membebani rakyat dengan kebijakan ini.

 

Bukan Hanya Wacana Kenaikan Namun Perbaikan Pelayanan Kesehatan 

 

Wacana kenaikan iuran BPJS muncul karena adanya ancaman defisit terkait dengan adanya penyesuaian tarif. Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Muttaqien mengatakan rencana kenaikan lantaran peluang defisit sebesar Rp11 triliun pada Agustus-September 2025.

 

Ancaman defisit ini justru dijadikan alasan untuk kembali membebani rakyat. Ditengah sulitnya memenuhi kebutuhan pokok, wacana kenaikan ini menjadi beban baru yang harus ditanggung rakyat. Hal ini semakin memperjelas akan adanya kapitalisasi layanan kesehatan dan abainya negara atas rakyat.

 

Kesehatan dalam hal ini adalah salah satu faktor penunjang kemajuan ekonomi. Dengan rakyat yang “sakit” maka dapat dipastikan roda ekonomi tidak akan berjalan untuk memajukan ekonomi bangsa. Belum lagi kastanisasi pelayanannya hari ini menjadi tanggung jawab negara menghapusnya dan sebaliknya memberikan pelayanan yang sama pada setiap rakyatnya. Sebagaimana tertuang dalam Pancasila sila ke-5 yang berbunyi “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”.

 

Selama ini yang dipahami bahwa keadilan konsepnya adalah rakyat diperlakukan sama dari segala aspek menyangkut pelayanan negara. Namun lagi-lagi konsep tak seindah realita, rakyat dipukul oleh realita bahwa “ si miskin” dan “si kaya” diperlakukan berbeda.

 

Banyak kasus yang terjadi sebelumnya beberapa pasien harus meregang nyawa akibat tidak mendapat penanganan cepat disebabkan tidak memiliki BPPS dan berbagai administrasi yang mempersulit rakyat.

 

Pelayanan Kesehatan Tanggung Jawab Negara

 

Pandangan Islam tentang kesehatan adalah salah satu aspek yang dijamin oleh negara yang menjadi indikator kemajuan suatu peradaban. Bahkan Islam telah menyandingkan kesehatan dengan keimanan, sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Mintalah oleh kalian kepada Allah ampunan dan kesehatan. Sesungguhnya setelah nikmat keimanan, tak ada nikmat yang lebih baik yang diberikan kepada seseorang selain nikmat sehat.” (HR Hakim).

 

Rasulullah saw. juga bersabda yang artinya, “Orang Mukmin yang kuat itu lebih baik dan disukai Allah daripada Mukmin yang lemah.” (HR Muslim).

 

Untuk itu kesehatan ini menjadi hal yang harus diperhatikan oleh negara sebagai pihak yang bertanggung jawab atas rakyatnya. Menyediakan layanan murah dan berkualitas termasuk didalamnya. Lantas apakah negara dapat menyediakannya?

 

Sebagai agama yang sempurna dan pernah menjadi negara adidaya selama kurang lebih 13 abad, peradaban Islam memberikan gambaran kepada kita khilafah, yang terbaiknya dalam memelihara urusan rakyat tanpa terkecuali.

 

Baiknya penyedia layanan kesehatan saat era kekhilafahan Islam yakni seperti saat Muhammad Al Fatih (Kekhilafahan Utsmani) dalam memberikan pelayanan kesehatan yaitu beliau merekrut juru masak terbaik untuk rumah sakit, dokter datang minimal 2 kali sehari ke pasien. Tiap rumah sakit minimal ada 2 dokter umum. Pegawai RS harus bersifat qanaah dan juga punya perhatian besar kepada pasien. Dokter tidak boleh mengasih obat sembarangan tapi harus terjamin kualitasnya. Saat itu juga tersedia dokter-dokter spesialis diantaranya penyakit dalam.

 

Contoh lainnya adalah banyaknya dibangun Bimaristan atau rumah sakit. Banyak orang Eropa dulu yang datang ke Bimaristan karena pengobatannya paling canggih saat itu. Bahkan kata beliau rumah sakit Islam menjadi tempat wisata orang Eropa saking bagus dan luar biasanya pelayanan rumah sakit. Salah satunya adalah, Nur al-Din Bimaristan dibangun abad pertengahan di Damaskus, Suriah. Terletak di kawasan al-Hariqa di kota bertembok tua, di barat daya Masjid Umayyah (Media Umat, 16/1/2023).

 

Pelayanan kesehatan terbaik bukan hanya ditopang oleh SDM nya namun kebijakan dan asas yang membangun peradaban juga lahir dari sistem yang baik yaitu bersumber dari wahyu Allah dan tuntunan Rasulullah saw. Wallahu ‘alam bishowab. [LM/ry].

Please follow and like us:

Tentang Penulis