Copycat Crime Marak, Hukum Tak Memberi Efek Jera
Oleh: Ranita
Lensa Media News-“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”. Demikianlah firman Allah dalam QS Ar-Rum ayat 41 yang terasa sangat relevan menggambarkan realitas hari ini. Layaknya cerita dalam Detective Conan, serial manga yang hingga 1000 episode lebih namun tak juga menemui titik akhir, begitupun cerita kriminal di negeri ini, merajalela, tiap hari makin parah.
Di awal Juli 2023, terjadi pembunuhan di sebuah kontrakan di Kampung Muka Ancol, Pademangan, Jakarta Utara. Pelakunya seorang pemuda berusia 20 tahun yang mengaku mendapat kekerasan seksual selama bertahun-tahun dari korban. Kasus ini terungkap ketika dua saksi menyadari ada bau busuk dari kontrakan korban (antaranews.com, 10/7/2023). Masih di bulan yang sama, kabar tentang pembunuhan seorang mahasiswa di Sleman, Yogyakarta. Sadisnya, setelah dibunuh korban malah dimutilasi untuk menghilangkan bukti (detik.com, 16/7/2023). Kasus mutilasi ini bukan yang pertama. Kasus serupa juga menimpa seorang ibu di Yogyakarta pada Maret 2023 (bbc.com, 23/3/2023).
Copycat Crime, Buah Hukum Tanpa Efek Jera
Beberapa kasus pembunuhan disertai kesadisan, biasanya memiliki latar belakang. Entah itu dendam, pinjaman riba, maupun asmara terlarang. Pelaku kejahatan biasanya orang yang dikenal. Untuk menghilangkan bukti keterkaitan korban dengan pelaku, biasanya jasad korban dibuang jauh atau dimutilasi. Josias Simon, seorang kriminolog dari Universitas Indonesia pada bbc.com (23/3/2023) mengatakan, maraknya kasus mutilasi tak lepas dari perkembangan dunia digital yang memberikan informasi model kejahatan yang kemudian di-copy oleh para pelaku untuk menyelesaikan masalahnya.
Copycat crime terjadi karena hukum positif buatan manusia tak mampu memberikan efek jera bagi pelaku kejahatan. Hukum yang ada justru membuat manusia terinspirasi oleh kejahatan manusia lainnya. Ringannya hukuman membuat manusia tak lagi merasa takut bertanggung jawab. Pada Pasal Pembunuhan Berencana misalnya, Pelaku hanya menghadapi tuntutan hukuman maksimal 20 tahun penjara. Padahal, pelaku telah menghilangkan nyawa manusia lain dengan sengaja. Tak hanya itu, pada pasal 285 KUHP, pelaku pemerkosaan hanya dipenjara maksimal 12 tahun. Pelaku sodomi dijerat dengan pasal 290 KUHP dengan penjara maksimal tujuh tahun. Bisa dibayangkan, kejahatan yang membuat korban dan keluarga korban depresi seumur hidup, hanya seharga beberapa tahun penjara.
Hukum Islam Membuat Jera
Hal ini berlainan dengan hukum pidana Islam. Hukum pidana dalam Islam berfungsi sebagai zawajir (pencegah) dan jawabir (penebus). Sebagai pencegah, agar orang lain tidak melakukan kejahatan serupa karena ngeri dengan konsekuensi hukum yang akan mereka hadapi, dan sebagai penebus agar pelakunya terampuni dihadapan Allah, sekalipun yang dilakukannya adalah dosa besar.
Dalam kitab Nizham Al-‘Uqubat karya Abdurrahman Al-Maliki, ‘uqubat (sistem sanksi) disyariatkan untuk mencegah manusia dari tindak kejahatan. Dalam Islam, kejahatan pembunuhan termasuk dalam kategori Jinayat. Jinayat adalah penganiyaan terhadap badan, jiwa atau harta yang mewajibkan qishash atau diyat kepada pelakunya. Hukuman pembunuhan tidak disengaja, adalah membayar diyat 100 ekor unta dan kafarat membebaskan budak atau berpuasa dua bulan berturut-turut. Pada pembunuhan mirip disengaja, yakni pembunuhan yang terjadi dengan alat yang biasanya tidak bisa membunuh seseorang, diganjar dengan diyat 100 ekor unta yang 40 ekor diantaranya bunting. Yang paling berat, pada pembunuhan disengaja, pelakunya harus menjalani qishash, yakni hukuman serupa berupa hukuman mati.
Percobaan pemerkosaan, baik korbannya laki-laki maupun perempuan, akan disanksi ta’zir berupa 3 tahun penjara ditambah hukuman cambuk, bila belum terjadi jima’. Namun bila pemerkosaan atau penyodomian sampai terjadi, maka akan disanksi dengan hukuman mati.
Beratnya persanksian dalam Islam mengisyaratkan bahwa kehormatan dan kehidupan manusia sangatlah berharga. Negara wajib menjamin keamanan setiap warga negara, baik Muslim maupun non-Muslim, laki-laki maupun perempuan. Beratnya persanksian ini juga membuat manusia berpikir ulang jika ingin meniru kejahatan yang serupa. Dengan sistem hukum yang membuat jera, yang ditopang dengan sistem ekonomi, sosial, dan politik yang selaras, maka copycat crime akan dapat dicegah. Wallahu a’lam bish showab. [LM/ry].