Antraks, Tradisi Brandu, Dan Lalainya Penguasa

 

Antraks, Tradisi Brandu, Dan Lalainya Penguasa

 

Oleh: Ummu Anshor

(Jatinangor – Sumedang)

 

LenSaMediaNews.com – Penyakit antraks kembali memakan korban. Kali ini di Kecamatan Semanu, Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Diduga seorang warga tewas karena positif terkena antraks setelah memakan daging sapi yang mati karena sakit. 85 orang lainnya positif terkena antraks.

 

Mirisnya, antraks merebak di Gunungkidul bukan yang pertama kali. Berdasar data dari Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan DIY, pada tahun 2019, 2020, 2022, 2023 kasus antraks selalu muncul. Namun, pemerintah tidak sampai menyatakan statusnya sebagai kejadian luar biasa. Lambatnya penangan membuat korban banyak berjatuhan.

Diduga, maraknya antraks ini berkaitan erat dengan budaya brandu atau purak yang menjadi tradisi masyarakat setempat. Budaya brandu ini adalah tradisi membagikan makanan hewan ternak yang sudah mati atau kelihatan sakit lalu dikonsumsi. 

 

Sebetulnya, tradisi ini bertujuan untuk saling menolong diantara warga. Peternak yang sapinya sakit atau mati, tertolong dengan tradisi ini. Oleh karena harga sapi yang dibagikan dipatok dengan harga yang murah. Sekitar 45.000/Kg. Dengan begitu  peternak tetap dapat untung dan warga bisa menikmati daging dengan harga murah.

 

Tradisi ini tentu sangat berbahaya sekaligus diharamkan dalam Islam. Berbahaya karena secara medis, hewan yang mati dan sakit sangat rentan menularkan penyakit kepada manusia yang mengkonsumsinya. Terlebih antraks. Bakteri Bacillus Anthracis yang terdapat pada daging hewan bisa menular bahkan jika dibuka/dibelah saja. Apalagi jika sampai dikonsumsi, spora bakteri bisa bertahan sampai 80 tahun jika sudah keluar.

 

Selain itu, dari sisi syariat daging bangkai adalah makanan yang diharamkan. sebagaimana terdapat dalam QS Al-Maidah ayat 3. Allah Swt. berfirman,

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ

Diharamkan bagimu (memakan) bangkai.” 

Namun, tradisi ini sulit dihentikan karena berkelindan dengan kondisi masyarakat yang miskin dan minim edukasi. Jumlah penduduk miskin di Gunungkidul mencapai 15,86% atau sekitar 6.390 orang. Edukasi dari dinas setempat sulit dicerna jika sudah berkaitan dengan masalah perut. Kejadian ini semakin menunjukkan lalai dan gagalnya penguasa dalam mengurus rakyatnya. 

 

Dengan kondisi ini, tentu sulit jika menyelesaikan masalah ini hanya dari sisi kesehatan. Melainkan butuh solusi yang lebih sistemik. Yakni, menyelesaikan mulai dari masalah kemiskinan, masalah pendidikan (meningkatkan literasi masyarakat) sekaligus sanksi yang tegas agar tidak ada yang berani memakan daging hewan yang sakit atau mati. Solusi sistemik ini sangat bisa ditegakkan jika negara ini mencampakkan sistem sekuler kapitalisme dan mengadopsi sistem Islam.  

 

Sistem Islam atau khilafah sudah terbukti selama ratusan abad mampu mensejahterakan warganya. Dengan sistem ekonomi Islam, negara mengelola sumber daya alam sepenuhnya dan hasilnya diberikan kepada rakyat dalam bentuk jaminan ekonomi mengentaskan kemiskinan, pelayanan pendidikan gratis yang berkualitas, sampai menjamin pelayanan kesehatan masyarakat. 

Wallahu’alam bishowwab.

 

Please follow and like us:

Tentang Penulis