Brandu dalam Timbangan Syariat
Oleh: Shafayasmin Salsabila
LensaMediaNews__Tradisi brandu atau purak, disebut-sebut sebagai salah satu faktor pemicu tingginya penularan antraks di Gunungkidul, DIY. Brandu merupakan tradisi pemotongan sapi dan kambing dengan kondisi sakit parah atau mati mendadak. Hewan ternak tersebut disembelih paksa, lalu dagingnya masih bisa dijual, meski dengan harga lebih murah.
Sebenarnya, praktik ini dilarang pemerintah, dan warga pun paham ada risiko antraks. Namun nyatanya tetap dilakukan juga. Alasannya supaya sama-sama untung. Pembeli dapat harga murah, sedang penjual tidak sampai rugi besar.
Dalam Islam sendiri, halal-haram menjadi patokan perbuatan.
Pertama, mengonsumsi bangkai jelas haram hukumnya. Begitu pun makanan yang tidak thoyyib, sedapat mungkin dihindari.
Kedua, Islam melarang praktik yang mengandung kebahayaan baik bagi diri sendiri atau orang lain.
Konsekuensi logis dari semua yang Allah larang adalah mudharat atau kerusakan pada badan. Dalam kasus ini berupa masifnya penyebaran virus. Belum lagi berbicara balasan siksa, kelak di akhirat. Demikian Islam mengajak pemeluknya untuk fokus mengembalikan semuanya, termasuk tradisi, untuk ditimbang dengan ukuran syariat. Apakah Allah rida atau justru murka. Bukan sekadar mencari celah keuntungan di antara kedua belah pihak.
Jika saja pemerintah mampu membangun mindset Islami pada diri warganya, dan hadir dalam penjaminan hajat setiap perut, niscaya tradisi brandu tumbang dengan sendirinya. Penularan antraks bisa jadi menurun, atau hilang sama sekali. Dengan begitu, keamanan akan terasa. Tak ada lagi nyawa melayang, akibat penularan antraks.