Tren Wisata Halal Ala Kapitalisme
Tren Wisata Halal Ala Kapitalisme
Oleh: Yulia Hastuti, SE, M.Si
(Pegiat Literasi)
LenSaMediaNews.com – Halal Tourism atau parawisata halal, merupakan istilah yang sering digunakan saat ini. Tahun ini, Indonesia dinobatkan menjadi “surga wisata halal dunia” dengan meraih predikat Top Muslim Friendly Destination of the Year 2023 dalam MasterCard Crescent Rating Global Muslim Travel Index atau GMTI 2023 di Singapura.
Wisata halal Indonesia naik peringkat satu dari sebelumnya peringkat dua. Pencapaian ini diharapkan bisa mengakselerasi target pencapaian 4,4 juta lapangan kerja di 2024 yang salah satunya bertumpu pada pariwisata halal. Merujuk laman kemenparekraf.go.id, sudah ada 5 wilayah destinasi wisata halal di Indonesia yang tercatat dalam Indonesia Muslim Travel Index (IMTI), yaitu Aceh, Lombok, Sumatera Barat, Kepulauan Riau dan DKI Jakarta. (tempo.co, 06/06/2023)
Prospek yang dimiliki Indonesia dengan jumlah penduduk mayoritas umat muslim terbesar di dunia memang bekal besar bagi pariwisata halal menjadi pasar yang menjanjikan. Dengan potensial destinasi wisata halal yang tersebar di berbagai pulau. Dunia pun mengakui pengembangan wisata halal di Indonesia memiliki potensi besar dari segala aspek.
Selain itu sektor wisata halal juga berpeluang sebagai salah satu penyumbang devisa utama. Berdasarkan RPJMN 2022-2024 dalam Media Keuangan Kemenkeu tahun 2023, pada tahun 2024 sektor pariwisata diprediksi mendatangkan sebanyak 9,5-14,3 juta wisman dan 1,250-1,5 miliar perjalanan wisnus. Sementara, target kinerja sektor pariwisata tahun 2024 diperkirakan akan menghasilkan devisa sebesar US$7,38-13,08 miliar. Serta berkontribusi terhadap PDB sebesar 4,5% dan menciptakan 22,8 juta lapangan kerja.
Selintas jumlah tersebut tampak begitu besar dan begitu menggiurkan. Dalam lingkaran sekularisme, wisata halal sangat jauh dari hakikat sebagai sarana tadabbur alam yang sesuai dengan aturan Islam. Secara realitas unsur liberalisasi yang diusung untuk melegalkan segala gaya kehidupan bebas. Label ‘halal’ hanya menjadi daya tarik bagi pasar warga muslim, mengingat Indonesia sebagai negara yang berpenduduk muslim terbesar di dunia.
Selain itu potensi pariwisata menjadi sebagai salah satu sumber pemasukan utama APBN selain pajak. Indonesia yang diberikan keberkahan berupa kekayaan alam yang begitu luar biasa, begitu menjanjikan sebagai sumber devisa. Padahal akan jauh lebih besar hasilnya jika dikelola dengan benar yaitu hasil dari sumber daya alam. Potensi kekayaan baik tambang, laut, hutan, dan hasil bumi lainnya sebenarnya lebih dari cukup untuk membiayai kebutuhan negara.
Sayang, negeri ini tersandera oleh sistem ekonomi kapitalisme. Kekayaan alam yang seharusnya dinikmati oleh umat, justru dikuasai oleh swasta dan pihak asing. Akhirnya rakyat terjerat kemiskinan secara sistemik. Sementara negara harus mengais rupiah dari sentra non strategis seperti sektor wisata, karena negara kehilangan sumber pemasukan negara yang strategis yang berasal dari pengelolaan sumber daya alam.
Berbeda dengan sistem ekonomi Islam yang memiliki aturan yang lengkap terkait sumber pemasukan negara, hingga menjadikan negara menjadi kuat dan rakyat hidup sejahtera. Wisata dalam aturan negara Islam bukan dipandang sebagai sumber pemasukan negara, melainkan sebagai sarana atau unsur dalam dakwah, dan sarana propaganda (dia’yah). Objek wisata menjadi sarana dakwah karena manusia baik muslim atau non muslim biasanya akan tunduk tatkala mereka melihat dan menikmati keindahan alam.
Di sisi lain, pemahaman wisata dalam Islam adalah untuk merenungi ciptaan Allah SWT, menikmati indahnya alam nan agung sebagai pendorong jiwa manusia untuk menguatkan keimanan pada zat yang menciptakannya bagi yang sebelumnya belum beriman. Ini tentu bisa mengokohkan keimanannya. Di sinilah proses dakwah bisa di lakukan dengan memanfaatkan obyek wisata tersebut.
Jadi di dalam Islam tidak akan ada dikotomi wisata halal atau non halal. Perlu dipahami meski wisata bisa menjadi salah satu sumber devisa dengan kriteria dan ketentuan sebagaimana yang telah disebutkan. Namun sektor wisata tidak akan dijadikan sebagai sumber perekonomian negara.
Oleh karenanya, persoalan wisata halal dalam sistem neoliberal merupakan konsep yang batil, yang seolah hanya ‘menjual Islam’ dengan label ‘wisata halal’. Lebih jauh, hal ini merupakan pembajakan terhadap potensi umat dan negeri muslim untuk kebangkitannya. Sudah saatnya kita kembali kepada pemahaman wisata dalam aturan Islam.
Safar bertujuan merenungi keindahan ciptaan Allah Ta’ala dalam menikmati keindahan alam nan agung sebagai penguat keimanan terhadap kebesaran Allah dan memotivasi kewajiban hidup. Begitu juga dengan sumber kekayaan melimpah yang dianugerahkan Sang Pencipta. Mestinya negara ini menjadi harapan umat Muslim dunia yang akan menjadi penopang ditegakkannya kembali peradaban Islam.
Wallahu’alam bishowwab.