Indonesia Darurat Kekerasan Seksual, Negara Harus Gerak Cepat

Oleh: Nurhayati, S.S.T.

 

Lensa Media News-Miris begitu membaca kasus yang beberapa waktu viral, seorang remaja berusia 15 tahun di Kabupaten Parigi Moutung, Sulawesi Tengah diperkosa oleh 11 orang. Satu diantaranya adalah oknum kepolisian Brimob.

 

Mengoyak hati kita adalah, bagaimana mirisnya kondisi korban pasca pemerkosaan. Kondisi kesehatan korban terus memburuk lantaran alat reproduksinya mengalami infeksi akut dan rahimnya terancam diangkat. Hal ini dikatakan oleh pendamping korban, Salma Masri yang belum mampu berkomunikasi dengan baik disebabkan oleh kondisi psikis korban yang masih terguncang (BBC.com, 31/5/2023).

 

Namun, kondisi ini lantas tidak memberikan rasa empati kepada Kapolda Sulawesi Tengah (Sulteng) Irjen Agus Nugroho yang mengatakan bahwa kasus di Parigi bukanlah tindak pemerkosaan. Ia lebih memilih diksi persetubuhan anak di bawah umur dibanding pemerkosaan. Hal itu karena tidak ada unsur kekerasan maupun ancaman dalam kasus ABG tersebut (rejogja.republika.co.id, 2/6/2023).

 

Kasus di Parigi bukanlah kasus yang baru. Sudah seringkali bahkan setiap hari kita disuguhkan akan berita pelecehan seksual baik didalam keluarga maupun lingkungan sekitar. Guru, kepala sekolah, guru ngaji, bahkan orangtua sendiri tega melakukan pencabulan kepada anak kandungnya. Sungguh kekerasan seksual begitu nyata dihadapan kita. Permasalahan ini butuh keseriusan kita, juga negara untuk menerapkan supremasi hukum kepada pelaku agar kekerasan seksual semacamnya tidak berkembang semakin liar.

 

Kekerasan Seksual Harus Dihukum Tegas

 

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) menyatakan Indonesia darurat kekerasan seksual terhadap anak. Berdasarkan catatan KemenPPPA, kasus kekerasan seksual terhadap anak mencapai 9.588 kasus pada 2022. Jumlah itu mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya, yakni 4.162 kasus (BBC.com, 31/5/2023).

 

Banyak kasus kekerasan seksual yang terlambat terlapor akibat korban yang masih dibawa umur takut untuk menceritakan kronologinya. Berkaca pada kasus yang terjadi di Parigi, korban yang merasa sakit pada alat vitalnya mengeluhkan kepada keluarganya.

 

Data dari KemenPPPA harusnya sudah menjadi ultimatum bagi kita khususnya penguasa yang juga memiliki kekuatan penuh untuk mengakhiri kekerasan seksual pada anak. Adanya UU TPKS nyatanya tidak mampu membendung nafsu kebinatangan dari para pelaku cabul dan predator anak. Parahnya deretan pelakunya ada penegak hukum, seorang akademisi (guru) dan juga kepala desa.

 

Lingkungan yang tak ramah anak harusnya menjadikan kita waspada, bahwa saat ini kita butuh penegakan hukum yang memberikan efek jera agar tidak ada lagi kasus semacamnya.

 

Ini terjadi akibat kita hidup dalam lingkungan sekuler, dimana banyak sarana-sarana yang mendorong syahwat, baik itu berupa tontonan yang berseliweran di social media yang mudah sekali diakses hari ini. Pornografi dan pornoaksi sudah tidak dapat terkontrol lagi.

 

Menyoal Solusi Kekerasan Seksual dalam Islam

 

Sudah seharusnya membuat kita sadar bahwa sistem sekuler ini tak akan mampu memberikan rasa aman dan tidak mampu menjaga kemuliaan seorang wanita selain dari sistem Islam. Karena Islam diturunkan oleh zat yang maha sempurna yakni Allah SWT. Maka aturannya pun sangat detail dan sempurna.

 

Pertama, menerapkan sistem pergaulan Islam yang mengatur interaksi laki-laki dan perempuan baik dalam ranah sosial maupun privat. Dasarnya adalah akidah Islam. Sistem Islam akan menutup celah bagi aktivitas yang mengumbar aurat. Sebab, kejahatan seksual bisa dipicu rangsangan dari luar yang kemudian memengaruhi naluri seksual (gharizah an-nau’).

 

Kedua, Islam memiliki sistem kontrol sosial berupa amar makruf nahi mungkar. Saling menasihati dalam kebaikan dan ketakwaan, juga menyelisihi terhadap segala bentuk kemaksiatan. Tentu semuanya dilakukan dengan cara yang baik.

 

Ketiga, Islam memiliki sistem sanksi tegas terhadap pelaku kejahatan seksual. Contohnya, sanksi bagi pelaku tindak perkosaan berupa had zinâ, yaitu dirajam (dilempari batu) hingga mati, jika pelakunya muhshan (sudah menikah); dan dijilid (dicambuk) 100 kali dan diasingkan selama setahun, jika pelakunya ghairu muhshan (belum menikah).

 

Dengan solusi pencegahan dan penegakan hukum yang dimaksud untuk menimbulkan efek jera diharapkan mampu menutup segala celah untuk kemaksiatan. Wallahu a’lam bisshowab.[LM/ry].

Please follow and like us:

Tentang Penulis