Harga Mati dalam Satu Frekuensi Perubahan dan Arah Perubahan dengan Mengusung Islam
LenSa Media News_ Selasa (28/3/2023) Silaturahim Tokoh, Ulama, dan Habaib berlangsung begitu hagat. Sembari menunggu berbuka puasa, obrolan santai di antara peserta kian menghangat tatkala membicarakan kepentingan bangsa. Forum ini menjadi sangat hidup dan autentik karena tak hanya berisi kritik, tapi juga langkah taktik untuk keluar dari persoalan besar yang dihadapi bangsa ini.
Kyai Laode Heru Elyasa dari Forum Komunikasi Ulama Aswaja menuturkan jika ulama kini perlu dikasih panggung. Khususnya pencerahan siyasi (politik). Hal inilah yang telah terlaksana di beberapa titik dalam agenda Multaqa Ulama’ Aswaja dan Majelis Buhuts Al-Islami. Pembahasan seputar politik, kenegaraan, dan lainnya.
“Tujuannya mengembalikan ulama bicara politik. Politik yang didasari aqidah,” tegasnya.
Jika tidak dilandasi aqidah dan syariah, lanjut Kyai Heru, sering berbelok. Apakah tokoh dan umat siap ketika rezim jatuh? Bagaimana langkah selanjutnya? Berkaitan hal itu Kyai Heru mendetailkan bahwa syarat adanya kesiapa perubahan itu ada tiga.
Pertama, negeri memiliki konsep ekonomi. Kedua, negera punya konsep peradilan. Ketiga, memiliki TNI (penjaga kedaulatan dan pemilik kekuatan).
“Sebuah rezim akan hancur sebab kedzaliman mereka sendiri. Karena itu perlu ada upaya mengubah lebih kuat. Bukan yang lemah untuk merubah yang kuat,”tandasnya.
Lanjutnya, “Umat harus dikuasai ulama. Ulama yang waratsatul anbiya.”
Slamet Sugianto pun menimpali jika perubahan itu butuh ganti sistem dan ganti rezim. Umat perlu diedukasi massif. Serta menyiapkan rezim untuk mengambil Islam sebagai harga mati.
Pak Helmy, salah satu peserta yang pernah berkiprah di Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menjelaskan pengalamannya.
“Negara salah kelola. Untuk memberantas korupsi tidak cukup dengan aparat, harus sinergi dengan akuntan.”
Poin penting yang menjadi oleh-oleh dari diskusi yang powerful ini ketika KH. Asrori memberikan wejangan penting menjelang berbuka puasa.
“Kita berkumpul di sini sudah satu frekuensi perubahan, tapi belum satu frekuensi dalam arah perubahan. Karenanya arah perubahan Islam harga mati,”tekannya.
Terkait arah perubahan, sebagai seorang muslim perlu meneladani baginda Nabi Muhammad Saw. Terdapat tiga ciri, diantaranya:
Pertama, perbuatan (perubahan) harus sesuai nabi. Kedua, tujuannya sejalan dengan syariah. Ketiga, perubahan dalam konteks apa? Dan Rasulullah telah memberikan contoh tholabun nushro (mencari dukungan dan pertolongan kepada pemilik kekuatan).
“Umat masih jadi obyek, karena tidak punya visi misi ke depan. Jika perubahannya jelas maka totalitas,” imbuhnya.
Forum yang bernas ini mendapatkan masukan berharga dari peserta lainnya. Kiranya perlu ada langkah all out. Ada tindak lanjut dan fokus pembahasan dalam diskusi. Tampaknya diskusi, aksi, dan edukasi ini perlu dilanjutkan untuk menggagas satu perubahan yang sama menuju kebaikan untuk semua.
[Hanif Kristianto, Analisis politik dan media]
(LM/SN)