Balada Utang, Negeri Zamrud Khatulistiwa

Oleh : Ummu Zhafran

(Pegiat Literasi) 

 

Kulihat Ibu Pertiwi, sedang bersusah hati

Air matanya berlinang, emas intannya terkenang…

 

Lensa Media News – Masih ingat lirik lagu di atas? Miris memang. Bila dulu saja Ibu Pertiwi sudah bersedih, bagaimana kini bila menyaksikan utang yang terus membengkak?

Mengutip data dari laman berita internasional, Kementerian Keuangan mencatat posisi utang pemerintah sampai dengan akhir Desember 2022 mencapai Rp 7.733,99 triliun dengan rasio utang terhadap PDB sebesar 39,57%. (cnbcindonesia, 18/1/2023)

Memang sukar dipercaya rasanya. Sejak awal, julukan negeri zamrud khatulistiwa jelas bukan kaleng-kaleng. Artinya, terdapat sumber daya alam yang melimpah baik dari dasar hingga permukaan bumi Indonesia. Namun, mengapa seolah tak ada solusi lain selain sibuk menambah utang demi keberlangsungan negeri? Jelas ada yang keliru. Publik yang awam pun dengan mudah bisa sampai pada kesimpulan ini, ada yang salah dalam tata kelola sumber daya alam yang menjadi aset bangsa. Jika dibiarkan, kelak anak cucu kita pula yang menanggung getahnya.

Dahulu, sebelum datang ‘serangan negara api’ seperti kisah dalam komik Naruto, pengelolaan sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemaslahatan rakyat masih jadi amanat konstitusi. Tetapi kini, hal tersebut bahkan hampir tak lagi terdengar kabarnya.

Sekarang justru kebijakan demi kebijakan dengan aroma liberal kapitalistik ala ideologi kapitalisme yang semakin nyata eksistensinya. Bisa dilihat mulai dari pencabutan subsidi, dinaikkannya pajak, hingga membuka pintu terhadap investasi asing selebar-lebarnya. Jadilah alih-alih negara mengelola sumber daya alam secara amanah untuk kesejahteraan rakyat dan bebaskan diri dari utang, sebaliknya malah pasrah digondol oligarki yang berada di level nasional maupun internasional.

Ironis, realitas di atas seakan wujud nyata dari apa yang digambarkan dalam Wikipedia soal kapitalisme. Bahwa dalam sistem kapitalisme, pemerintah tidak dapat melakukan intervensi pasar guna memperoleh keuntungan bersama, tetapi intervensi pemerintah dilakukan secara besar-besaran untuk kepentingan-kepentingan pribadi (baca:oligarki). (Wikipedia)

Tetapi anehnya di tengah sengkarut masalah yang bertubi mendera negeri ini akibat penerapan kapitalisme, justru solusi yang datang dari langit diabaikan. Tak cukup itu, bahkan dikerdilkan hingga dituding tidak cocok untuk dijadikan rujukan. Padahal bagaimana mungkin syariat yang diturunkan Sang Maha Pencipta seluruh alam dan isinya, zalim dan ingin merusak makhluk ciptaan-Nya? Sungguh hal yang mustahil.

Islam agama sempurna dan paripurna. Sudah seharusnya tak dipandang sebelah mata. Bahkan terkait tata cara mengelola sumber daya alam, Islam rinci menjawabnya.

Dalam Islam, kepemilikan digolongkan menjadi dua, kepemilikan individu dan umum. Adapun sumber daya alam yang kapasitasnya besar tidak boleh diserahkan kepemilikannya kepada individu maupun swasta, seperti hutan, laut, sumber daya mineral, energi – bahkan keindahan alam. Semua itu adalah milik umum. Negara menjadi pihak yang berwenang mengeksploitasi dan hasilnya wajib digunakan untuk kemaslahatan umum.

At-Tirmidzi meriwayatkan dari Abyadh bin Hamal, bahwa ia pernah datang meminta kepada Rasul saw. untuk dapat mengelola suatu tambang garam. Rasul saw. awalnya memenuhi permintaan itu, tapi salah seorang sahabat berkata,

Wahai Rasulullah, tahukah engkau, apa yang engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir (ma’u al-‘iddu)”

Rasulullah kemudian bersabda: “Tariklah tambang tersebut darinya.”

Penarikan kembali pemberian Rasul saw. menunjukkan satu hal, yakni adanya pelarangan bagi individu memiliki sesuatu yang menjadi milik umum. Dalam hal ini berupa barang tambang yang kandungannya sangat banyak dan tak terbatas.

Rasulullah Saw. juga bersabda,

Manusia berserikat dalam 3 hal, yakni air, api dan padang rumput.” (HR. Abu Daud)

Air, api dan padang rumput adalah urgen bagi suatu masyarakat. Apabila tidak tersedia, potensi konflik amat besar di antara manusia. Oleh karena itu, ketiganya menjadi milik umum.

Untuk konteks Indonesia, cadangan minyak di Blok Cepu misalnya. Menurut konsultan dari Amerika kandungannya mencapai 2 miliar barel. (wikipedia) Begitu pula batubara, cadangannya mencapai 26,2 miliar ton yang diperkirakan baru akan habis sekitar 56 tahun lagi. (esdm.go.id)

Maka dapat terbayang bila output kelola segenap sumber daya alam tadi (minyak dan batubara) dioptimalkan sesuai syariah, perkara utang tidak akan dirasakan perlu. Bahkan utang harus selalu diwaspadai. Sebab selain membuka celah maksiat jika berbasis riba, juga memudahkan akses masuknya penjajahan. Akhir kalam, mari hidup berkah dengan syariah kafah. Dengannya, kita bisa katakan selamat tinggal pada utang.

Wallaahu a’lam.

 

(LM/nr)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Please follow and like us:

Tentang Penulis