KUHP Nasional, Benarkah Menghapus Rasa Kolonial?

Oleh: Ummu Zhafran, (Pegiat Literasi)

 

Lensa Media News-Tahun berganti, siapa sangka kado pahit sudah menanti. Salah satunya berupa pengesahan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) baru yang digadang-gadang bercita rasa nasional asli. Ya, setelah beberapa dekade mewarisi KUHP warisan penjajah, saatnya bangsa ini berbangga telah menelurkan rancangan karya anak negeri. Setidaknya hal itu menurut seorang pejabat publik yang membawahi Kemenkumham.

 

Menarik dicermati, benarkah tak lagi kolonial? Jika rezim penjajah di era penjajahan begitu represif dalam penegakan hukum seperti yang tercatat dalam sejarah, bagaimana dengan perangkat hukum yang baru disahkan ini? Kalau realitasnya setali tiga uang, jangan salahkan jika ada sebagian kalangan yang menilai KUHP baru ini sebatas berganti judul saja. Dari kolonial jadi nasional.

 

Wajar saja sikap skeptis publik yang kemudian berkembang. Selain proses pengesahan KUHP tersebut hanya dihadiri langsung oleh 18 orang anggota dewan dari semua fraksi juga terdapat beberapa pasal yang dinilai karet dan berisiko memicu multi tafsir. Salah satu yang dimaksud adalah pasal 188 yang bunyinya, “Barang siapa yang menyebarkan paham yang bertentangan dengan Pancasila maka dia dipidana.”

 

Menurut Ketua LBH Pelita Umat Chandra Purna Irawan, S.H.,M.H., karena dalam pasal itu tidak disebutkan secara jelas apa paham yang dimaksud, maka rentan menjadi pasal subversif, suka-suka tergantung penafsiran penguasa. Jadilah KUHP baru ini justru lebih kolonial dari sebelumnya. (Mediaumat)

 

Tak hanya itu, terkait penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara dalam pasal 349, maka pelakunya juga harus siap diancam pidana. Sanksi pidana dapat dilakukan atas dasar aduan dari pihak yang merasa dihina. Menanggapi hal ini, pakar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar, menyebut terlalu berlebihan sebab jika kekuasaan atau lembaga negara anti kritik, lebih baik bubar saja (MSN, 12/11/2022). Senada dengan komentar Jurnalis Najwa Shihab di akun sosial medianya, “Ini undang-undang atau ‘plester’ (untuk membungkam mulut)?

 

Seolah belum cukup hal absurd di dalam negeri yang menganut sistem demokrasi ini, tiba-tiba gelombang penolakan datang dari media-media Barat hingga duta besar Amerika. Ada apa gerangan? Usut punya usut, mereka menolak salah satu pasal dalam KUHP yang terkait larangan hidup bersama tanpa menikah alias kumpul kebo. Tak tanggung-tanggung sang duta besar sampai memprediksi masa depan investasi asing di Indonesia bakal suram bila pasal tersebut tetap berlaku.

 

Duh, miris rasanya menyaksikan hal tersebut. Sebagai negeri dengan mayoritas penduduk muslim, seharusnya bukan hal aneh bila melarang zina. Terlebih dalam undang-undang ini, meski kumpul kebo dilarang namun aroma sekularisme-liberal tetap kental terasa. Dapat dilihat dari klausul yang menjadikan pidana zina dan kumpul kebo sebagai delik aduan, hanya suami atau istri yang bisa melaporkan pelaku yang sudah menikah. Bagi pelaku yang belum menikah, maka pengaduan hanya bisa dilakukan orang tua atau anak. Artinya, aparat seperti Satpol PP maupun tetangga sekitar terlarang melakukan penggerebekan. Maka bila tak ada pihak yang mengadu dan zina dilakukan atas dasar suka sama suka, karpet merah seolah terbentang di hadapan pelaku alias bebas tanpa hambatan. Namun, tetap saja hal ini masih dianggap belum cukup bagi para penganut gaya hidup liberal (baca: Barat dan pengikutnya).

 

Amboi, betapa ruwetnya hidup dalam naungan sekularisme. Ketika agama dipisahkan dari kehidupan, maka masalah demi masalah seolah tiada henti menyapa. Baru tiga pasal yang diangkat dalam tulisan ini, sudah memantik kegaduhan, padahal masih banyak pasal lain yang berpotensi sama gaduhnya. Hal yang kurang lebih sama terjadi pula pada UU Ciptaker. Undang-undang yang dinyatakan inkonstitusional oleh MK, dalam waktu singkat menjelma menjadi Perppu Ciptaker. Masih banyak lagi produk legislasi yang semakin dikaji, makin jauh di luar nalar.

 

Anda heran dan tak habis pikir? Tak perlu buang waktu. Begitulah tabiat hukum buatan manusia. Rawan konflik dan kepentingan. Mustahil bisa menjawab semua kepentingan manusia. Sebab adil bagi yang satu, belum tentu bagi yang lainnya. Demokrasi sudah tentu tak luput dari tabiat ini. Tampak jelas suara rakyat bukan lagi suara Tuhan ketika berbenturan kepentingan dengan pengesahan RKUHP di satu sisi dan penolakan berbagai elemen masyarakat di sisi lainnya.

 

Alhasil jika hukum buatan manusia demikian, niscaya lain cerita ketika urusan hukum dikembalikan pada Sang Maha Pencipta alam semesta termasuk manusia di dalamnya. Kembali pada syariat Allah yang Maha Adil. Legislasi yang konsisten dan tak lekang oleh zaman.

 

Bukankah Allah Swt. berfirman, “ Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?”(QS Al Maidah: 50). Wallahua’lam.[LM/el/ry]

Please follow and like us:

Tentang Penulis