Regulasi Negara Gagal Mencetak Pemuda Pemimpin

 

Dwi Hendriyabti S.Pd
(Pakar Pendidikan)

 

Reportase – Melihat fenomena generasi hari ini, apakah sekolah mampu menjadi pencetak pemuda yang taat kepada syariat? Beliau menyatakan, selama beliau mengajar, berharap pada institusi sekolah adalah sesuatu yang sulit.

 

Faktanya ada proses kegagalan pendidikan. Kerusakan itu ada pada anak-anak sendiri, mereka tidak takut dengan Allah, bahkan jauh dari Islam atau norma agama. Masih menurut beliau lagi, ini adalah bagian dari tanggung jawab kami sebagai guru. Guru sudah berusaha bagaimana agar amanah anak tidak terjerumus dalam jebakan pemikiran yang salah. Namun berulang kali terus terjadi, bahkan persoalannya bertambah kompleks.

 

Tantangannya tidak mudah, karena berbenturan dengan regulasi negara. Ada beberapa faktor penyebab sulitnya mencetak generasi terbaik untuk diwujudkan:
1. Kurikulum
2. Peran guru
3. Faktor lingkungan

 

Pertama Kurikulum, itu nyawa atau ruh bagi performa generasi bangsa. Di Indonesia kurikulum itu berubah-ubah dan tidak mempunyai standar baku. Sedangkan setiap perubahan ini basisnya sama yaitu sekuler, memisahkan agama dari kehidupan. Ketika yang menonjol adalah sifatnya materialistis, yaitu bagaimana anak atau output pendidikan itu bisa menghasilkan produk, siap bersaing di dunia kerja atau industri. Intinya anak disiapkan untuk kerja tapi miskin agama.

Dalam kurikulum juga ada nilai sekuler yang ditanamkan, yaitu sikap dalam moderasi beragama, yang mana tujuannya adalah mencetak generasi cerdas, religius, humanis. Faktanya jauh dari unsur-unsur ketuhanan. Kurikulum merdeka, platform-nya merdeka belajar juga ada unsur liberal, berupa kebebasan untuk menentukan minat dan bakat tanpa melihat sesuai tidak dengan hukum syara, apakah standarnya halal haram atau bukan.

 

Kedua, peran guru: dalam kurikulum merdeka hari ini, mulai terbaca adanya disorientasi mendidik, dengan kata lain ada orientasi mengajar yang bergeser, dengan banyaknya pendapat, ”yang penting saya ngajar, selesai, saya pulang” atau “atau hanya fokus menuntaskan jam mengajar“. Ada mungkin guru yang masih memberikan agama tapi minim. Karena yang terbanyak kini disibukkan dengan berbagai macam administrasi, yang menyita banyak waktu, tenaga dan pikiran. Akibatnya transfer behavior (keteladanan) tidak ada lagi.

 

Ketiga, lingkungan, bisa jadi di keluarga seorang anak sudah dibina agama dengan baik, faktanya ketika keluar ke lingkungan luar, tidak bisa menjamin menjadi anak baik yang saling peduli misalnya.

Maka cara yang harus dilakukan supaya proses pendidikan sesuai sebagaimana yang kita harapkan, pendidikan harus menjadi basis penguatan moral, menjadi acuan agar sistem bisa mencetak anak berakhlak mulia. Acuannya adalah guru, gurunya dulu yang harus paham Islam.
Tidak bisa hanya mencukupkan pada ilmu yang ia dapatkan dari kuliah saja untuk mengajar, tetapi harus ikut dalam pembinaan Islam, harus tergabung dalam kajian Islam. Sebab yang harus dipahami juga oleh para guru, agama Islam ini bukan sebagai agama ritual semata, tapi sebagai rujukan berperilaku sesuai syariat Allah SWT.

 

Terlebih lagi, ini bukan tugas guru agama saja, apalagi sekarang dalam kurikulum merdeka, agama sudah dikotomi dari pelajaran lainnya, tetapi tugas semua guru muslim, yang kemudian bisa ditularkan kepada generasi.

 

Sebagai guru juga hendaknya memfasilitasi siswa dengan wadah-wadah atau komunitas-komunitas yang di dalamnya ada kegiatan mengkaji Islam.

 

#GenerasiMudaPimpinPerubahan
#SelamatkanGenerasidenganIslam

 

(Reporter : Rut Sri Wahyuningsih)

Please follow and like us:

Tentang Penulis