Multaqa, akankah Membawa Perubahan?

Oleh : Umi Rizkyi

(Anggota Menulis Setajam Pena)

 

Kementerian Agama akan menyelenggarakan Multaqa Ulama Al-Qur’an Nusantara. Ajang pertemuan para ulama Al-Qur’an ini akan berlangsung di Pesantren Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta, 15-17 November 2022.

 

Sejumlah tokoh dijadwalkan hadir dalam kegiatan bertajuk “Pesan Wasathiyah Ulama Al-Qur’an Nusantara” itu. Di antaranya, KH. Bahauddin Nursalim atau Gus Baha dan Said Agil Husin al-Munawar dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Prof Dr. M Quraish Shihab akan mengikuti multaqa secara daring.

 

M Ali Ramdhani mengatakan “Ketiga ulama Al-Qur’an Indonesia ini akan mengisi panel puncak “Lailatul Qur’an: Pesan Washatiyah Ulama Al-Qur’an” pada Rabu malam, 16 November 2022,” jelasnya di Jakarta, Minggu (13/11/2022).

 

M Ali Ramdhani menegaskan, peran ulama Al-Qur’an sangat penting dalam mendorong terciptanya harmonisasi umat manusia di dunia. Al-Qur’an memiliki nilai-nilai luhur yang dijadikan sebagai penuntun hidup oleh pemeluknya. Ia juga menegaskan “Oleh karenanya, agar umat tetap terpelihara harmonisasinya dalam mengimplementasikan nilai-nilai luhur tersebut, jalan dialog atau multaqa menjadi cara untuk saling memahami harus dikedepankan,” katanya.

 

Kang Dhani, kegiatan ini bertujuan untuk memfasilitasi berbagai gagasan berkaitan dengan Al-Qur’an. Ia menjelaskan “Hasil dari multaqa ini akan ditindaklanjuti dengan berbagai kesepakatan, rekomendasi kebijakan, serta kerja sama, dan aksi lainnya,” jelasnya.

 

Waryono seorang Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren berpendapat bahwa pihaknya telah melibatkan banyak ulama Al-Qur’an dalam kegiatan ini. Mereka berasal dari kalangan pesantren, perguruan tinggi, lembaga pendidikan Al-Qur’an, dan lain-lain. “Kami sengaja mengundang berbagai elemen ulama Al-Qur’an, baik dalam maupun luar negeri, tentunya untuk memperkaya dan memperkokoh pemahaman tentang situasi terkini, khususnya berkaitan dengan Al-Qur’an,” tegasnya.

 

Sebelum acara inti, dibagi menjadi tiga sesi. Pertama, direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantrentas Sejarah”. Narasumber dalam sesi ini adalah KH. Aunur Rofiq Mansur (Pondok Pesantren Bustanul Huffadz Assa’idiyah, Sampang), KH. Syam Amir Yunus (Pondok Pesantren Al-Imam ‘Ashim, Makassar), dan Dr. Lilik Umi Kulsum (Pesantren/Padepokan Ngasah Roso Ayatirrahman, Bogor).

 

Kedua membahas pengalaman dan tantangan ulama Al-Qur’an dalam menyampaikan pesan wasathiyah di Nusantara. Panel ini akan diisi oleh KH. Sa’dulloh (Pesantren al-Hikamussalafiyyah, Sumedang), KH. M. Afifudin Dimyati, Lc. M.A. (Asrama Hidayatul Quran, Pesantren Darul Ulum, Jombang), dan Sheikh ‘Abdurrazzāq.

 

Ketiga akan membincang desain kurikulum washatiyah pendidikan Al-Qur’an. Tampil sebagai narasumber: KH. Ahsin Sakho’ Muhammad, (Pesantren Darul Qur’an Cirebon Jawa Barat), Ny. Hj. Maftuhah Minan (Pesantren Nurul Qur’an, Kajen, Pati, Jawa Tengah), dan Sheikh Māhir Ḥasan al-Munajjid.

 

Menurut Mubaliqah nasional Ustazah Kholishoh Dzikr mengatakan, “Rekomendasi ini menarik untuk kita cermati, satu sisi mengharapkan Al-Quran bisa menjadi petunjuk sehingga menebarkan rahmat, tetapi sisi lain menjadikan moderasi menjadi metode berfikir dalam memahami Al-Quran dan bahkan, dalam mendesain kurikulum pengajaran. Padahal dua sisi tersebut saling bertolak belakang,” ungkapnya kepada MNews, Selasa (22/11/2022).

 

Beliau juga menegaskan bahwa moderasi Islam atau Islam moderat merupakan gagasan pemikir-pemikir sekuler liberalis Barat, terutama mereka yang terlibat aktif dalam proyek pengendalian dan riset kebijakan-kebijakan global.

 

“Hakikat moderasi Islam dapat dipahami, salah satunya dari sebuah buku yang dikeluarkan Rand Corporation, berjudul “Building Moderate Muslim Network”, pada bab 5 tentang “Road Map for Moderate Network Building in the Muslim World” (Peta Jalan untuk Membangun Jaringan Moderat di Dunia Muslim),” jelasnya.

 

“Muslim moderat adalah orang menyebarluaskan dimensi-dimensi peradaban demokrasi berupa kebangsaan (nasionalisme), gagasan tentang HAM, kesetaraan gender, pluralisme, toleransi dan menerima sumber-sumber hukum non-sektarian (hukum yang tidak berasal dari agama), serta melawan terorisme dan bentuk-bentuk legitimasi terhadap kekerasan,” ujarnya.

 

Ia menyebutkan, inilah hakikat moderasi Islam yang dipahami dan yang dimaksud oleh penggagasnya. “Adapun definisi yang disebarluaskan di dunia Islam, termasuk di negeri ini, oleh pejabat, ulama, atau akademisi tidak sama dengan definisi di atas. Baik karena adanya pengurangan maupun penambahan. Hal itu semata-mata ditujukan untuk menyembunyikan kejahatan di balik istilah ini,” tegasnya.

 

“Untuk itu, agen-agen Barat, melalui sebagian ulama dan akademisi bayaran, mencari-cari dalil, mengutak-atiknya agar sesuai dengan realita yang diinginkan dengan menafsirkan ulang ayat-ayat Al-Qur’an dan Sunah serta merekontekstualisasi fikih untuk menolak formalisasi syariat dalam ranah negara, jihad melawan orang kafir, penerapan hudud bagi pelaku perzinaan dan homoseksual, hukuman mati bagi orang yang murtad, dan hukum-hukum Islam lainnya agar moderasi Islam seolah sebagai bagian tiak terpisahkan dari ajaran Islam,” jelasnya.

 

Menurut Kholishoh, para ulama adalah rujukan dan tempat bertanya bagi umat yang kebingungan. Ia mengutip pendapat Imam Al-Ghazali, “Tidaklah terjadi kerusakan rakyat itu kecuali dengan kerusakan penguasa, dan tidaklah rusak para penguasa kecuali dengan kerusakan para ulama.” Rasulullah saw. bersabda, “Ulama adalah pewaris para nabi.”

 

“Jadi, sepanjang hidup Nabi Muhammad saw adalah dakwah menyampaikan risalah Islam, berjuang menegakkan institusi untuk menerapkan risalah Islam, menerapkan Islam, serta menyebarkan Islam ke seluruh penjuru dunia dengan dakwah dan jihad,” katanya. pewaris Nabi, ulama tentu tidak boleh menyelisihi perjuangan dari sang pewaris. Ulama saat ini harus berjuang untuk menghilangkan kemungkaran ketika melihat kemungkaran.

 

“Dan kemungkaran terbesar di depan mata saat ini adalah tiadanya perisai yaitu khilafah Islamiah. Dengan tiadanya Khilafah Islamiah, Al-Quran dan Sunah tidak diterapkan secara komprehensif. Ketiadaan Khilafah ini bahkan menjadi induk kejahatan yang seharusnya menjadi fokus perjuangan para ulama terlebih ulama Al-Quran untuk menghilangkannya,” ucapnya.
Hendaknya ulama harus terdepan dalam membela hak-hak umat dengan cara menyadarkan hak serta kewajiban mereka dan melakukan muhasabah kepada penguasa yang zalim, bukan sebaliknya mendukung program moderasi Islam yang diarusderaskan penguasa untuk menjauhkan umat dari Syariat Islam dan bahkan menghadang tegaknya Islam kafah dan Khilafah.

Please follow and like us:

Tentang Penulis