G20 untuk Kepentingan Siapa ?
Oleh : Asma Yulia, SE
Pemerhati Masalah Umat
Lensa Media News – Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 ke-17 telah berlangsung pada 15-16 November 2022 di Bali. KTT akan menjadi puncak dari proses G20 dan kerja intensif yang dilakukan dalam Pertemuan Tingkat Menteri, Working Groups, dan Engagement Groups sepanjang tahun.
Mengutip laman resmi bi.go.id, G20 adalah forum kerja sama multilateral yang terdiri dari 19 negara utama dan Uni Eropa (EU). G20 merepresentasikan lebih dari 60% populasi bumi, 75% perdagangan global, dan 80% PDB dunia. Anggota G20 terdiri dari Afrika Selatan, Amerika Serikat, Arab Saudi, Argentina, Australia, Brasil, India, Indonesia, Inggris, Italia, Jepang, Jerman, Kanada, Meksiko, Republik Korea, Rusia, Perancis, Tiongkok, Turki, dan Uni Eropa.
Indonesia merupakan negara berkembang pertama yang menjadi presidensi G20 atau negara-negara dengan kekuatan ekonomi terbesar di dunia. Presidensi G20 Indonesia mengusung tema “Recover Together, Recover Stronger”.
Mengutip laman resmi bi.go.id salah satu manfaat Presidensi G20 bagi indonesia adalah membuat Indonesia menjadi salah satu fokus perhatian dunia, khususnya bagi para pelaku ekonomi dan keuangan. Hal ini dapat dimanfaatkan untuk menunjukkan (showcasing) berbagai kemajuan yang telah dicapai Indonesia kepada dunia, dan menjadi titik awal pemulihan keyakinan pelaku ekonomi pascapandemi, baik dari dalam negeri maupun luar negeri.
Namun, apakah benar poin-poin manfaat yang disampaikan tesebut benar-benar akan membawa kebaikan bagi ekonomi dan kehidupan sosial seluruh rakyat Indonesia?
Faktanya, sejak bergabung dalam G20, kondisi ekonomi Indonesia bukan malah membaik, justru makin merosot, utang negara semakin bertambah. Rakyat semakin sengsara karena subsidi dicabut, bahkan pengangguran semakin meningkat.
Jika melihat dari fakta yang ada, seharusnya pemerintah sudah bisa melihat kerugian yang dialami ketika tetap berada dalam G20. Apalagi tahun ini Indonesia menjadi tuan rumah forum G20. Alih-alih keuntungan yang didapatkan, malah pengeluaran uang negara semakin membengkak karena harus membiayai segala persiapan menyambut sejumlah perwakilan dari anggota G20.
Presidensi G20 hanyalah salah satu alat yang digunakan untuk mencengkeram negeri-negeri yang memiliki kekayaan SDA seperti Indonesia. Karena penjajahan adalah bagian integral dari kapitalisme dan menjadi metode satu-satunya untuk menguasai dunia, maka tentunya akan sangat sulit untuk keluar dari cengkraman tersebut.
Oleh sebab itu, tidak ada cara lain untuk melepaskan diri dari penjajahan ekonomi negara besar, kecuali dengan memiliki kekuatan yang sepadan. Kekuatan seimbang yang sanggup berhadapan secara langsung dengan raksasa-raksasa ekonomi dunia hanyalah adidaya serupa, yakni Daulah Khilafah Islamiyah.
Sebagaimana telah dibuktikan oleh sejarah, Daulah Khilafah sanggup mengusir kekuatan asing yang akan merongrong supremasinya. Sepanjang sejarah bumi Khilafah yang terbentang dari Asia, Afrika hingga Eropa tidak pernah sama sekali tunduk pada kekuatan dan dikte imperialis asing.
Daulah Khilafah memiliki kekuatan dan kemandirian ekonomi, tidak hanya mampu menyejahterakan seluruh rakyat bahkan membantu negara lain.
Kejayaan dan kemakmuran adalah sebuah keniscayaan bagi Daulah Khilafah, karena sistem pemerintahannya berpedoman pada wahyu Sang Pengatur alam semesta, Allah subhanahu wa ta’ala. Sehingga tak ada sedikitpun aturan yang menzalimi manusia.
Allah Swt. Berfirman : “Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?”(QS Al-Maidah [5]: 50). Dengan demikian, tidak layak bagi kaum muslimin menghamba kepada manusia dan aturan-aturan kufur.
[LM, ak]