Ironi, Suka Cita di Tengah Duka Lara Bencana

Bersuka cita di tengah penderitaan rakyat gempa cianjur, pantaskah? Sangat disayangkan adanya pertemuan relawan Jokowi dengan nama Gerakan Nusantara Bersatu di tengah bencana gempa Cianjur yang hingga saat ini masih membutuhkan pertolongan dan bantuan. Pertemuan besar tersebut tentunya  menghabiskan biaya besar, apalagi di tengah suasana politik menjelang pemilu 2024, pertemuan dengan relawan ‘rawan’ dengan kepentingan ‘pribadi’ dalam hal jabatan/kekuasaan.

Pertemuan itu menyisakan sampah berserakan sebanyak 31 Ton yang mengotori Gelora Bung Karno (GBK) Senayan, Jakarta Pusat (CNN Indonesia, 27 November 2022). Suka cita berujung derita bagi petugas kebersihan dan miris bagi 321 korban gempa Cianjur. Titik pengungsian yang terlalu banyak dan medan di daerah pegunungan, dikatakan Jokowi, membuat distribusi logistik sulit dilakukan. (BBC news Indonesia, 23 November 2022).

Inilah satu dari banyak realitas politik dalam sistem kapitalisme, menghalalkan segala cara demi kekuasaan, tujuan politik yang hakikatnya bukan untuk kesejahteraan rakyat namun demi kerakusan oligarki kapitalis. Duka nestapa rakyat tidak jadi acuan utama, hanya menjadi cerita pelipur lara, rakyat pula yang bergegas meraih empati sesama warga Indonesia.

Penguasa dalam sistem Islam saling menguatkan. Perumpaan antara Islam, kekuasan dan rakyat adalah laksana tenda besar, tiang dan tali pengikat serta pasaknya, tenda besar adalah Islam. Rasulullah ﷺ bersabda: “Setiap kamu adalah pemimpin yang akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinannya. Seorang amir/kepala negara yang mengurus keadaan rakyat adalah pemimpin. la akan diminta pertanggungjawaban tentang rakyatnya. Seorang laki-laki adalah pemimpin terhadap keluarganya di rumahnya. Seorang wanita adalah pemimpin atas rumah suaminya. la akan diminta pertanggungjawaban tentang hal itu. Seorang hamba adalah pemimpin terhadap harta benda tuannya, ia akan diminta pertanggungjawaban tentang harta tuannya. Ketahuilah kamu semua adalah pemimpin dan semua akan diminta pertanggung jawaban tentang kepemimpinanya.” (HR. Abu Daud)

Sungguh berbeda dengan sikap Umar bin Khaththab ketika terjadi paceklik di Madinah, yang menahan dirinya untuk tidak makan enak karena begitu prihatin dengan nasib rakyatnya. Sosok pemimpin yang benar-benar peduli dan tinggi empati hanya dalam sistem islam dalam bingkai kekhilafahan. Berkebalikan dengan sistem yang menjunjung tinggi kesenjangan sosial, sarana dan prasarana berteknologi tinggi hanya untuk korporasi. Lagi dan lagi rakyat hanya dijadikan tumbal politik, bahkan santapan hegemoni kapitalis. Allahu a’lam bishshowab. [LM/UD]

 

Diani Ambarawati

(Forum Literasi Muslimah Bogor)

Please follow and like us:

Tentang Penulis