Benarkah Moderasi Ajaran Nabi?
Oleh: Ummu Zhafran
(Pegiat Literasi)
Lensamedianews.com– Tak terbantahkan, moderasi kini semakin naik daun. Narasinya masif digencarkan di setiap kesempatan. Tak jarang memantik kontroversi di tengah umat. Termasuk yang disebut berikut ini. Dalam sebuah acara yang diinisiasi oleh salah satu ormas Islam melalui perwakilannya di Jepang, salah seorang tokohnya menuturkan bahwa Allah Taala mengutus Nabi Muhammad saw. untuk berjuang dan berdakwah selama 13 tahun, tetapi hanya mendapatkan pengikut 120 orang. Artinya sepanjang 13 tahun, Islam menjadi agama individu. Barulah saat memasuki Yatsrib, Rasulullah ﷺ diperintah oleh Allah untuk membentuk organisasi, yang dinamakan umat wasathiyah.
Ia juga menyatakan bahwa Nabi Muhammad saw. tidak mengajarkan terorisme dan radikalisme, melainkan memberikan pelajaran yang sangat bernilai kepada para sahabatnya untuk menegakkan hukum seadil-adilnya, dan membangun masyarakat modern, yaitu wasathiyah atau toleran. (nu.or.id, 09/11/2022)
Dari pernyataan di atas, menarik untuk dikaji benarkah Baginda Nabi saw. mengajarkan perihal moderasi? Bila salah satu indikator moderasi adalah keadilan, sementara Islam juga mensyariatkan hal sama, dapatkah moderasi dikatakan bagian dari Islam atau sebaliknya? Lalu bagaimana yang dimaksud umat wasathiyah itu sebenarnya?
Mengutip seorang ulama ahli fiqih Islam sekaligus Mudir Ma’had Hamfara Yogyakarta, KH. Shiddiq AlJawi, alih-alih moderasi diajarkan Islam, justru berbahaya bagi Islam dan umat muslim. Setidaknya terdapat beberapa indikator bahaya tersebut. Antara lain narasi tentang anti kekerasan, baik kekerasan fisik maupun kekerasan verbal. Bila tak diberi tolok ukur yang jelas, maka narasi ini akan menjadikan ajaran jihad sebagai sasaran tembak untuk dikebiri. Terbukti peristiwa jihad yang dilakukan umat muslim sepanjang kejayaan peradabannya kemudian diletakkan dalam mata pelajaran sejarah, bukan lagi tergolong mata pelajaran fiqih. Selain itu, dakwah amar makruf nahi munkar dapat saja kemudian dikategorikan sebagai kekerasan verbal. Dengan demikian, keduanya menjadi sesuatu yang dapat terlarang. Padahal keduanya nyata merupakan ajaran Islam.
Begitu pula masalah toleransi. Moderasi beragama, menginginkan adanya toleransi yang dimaknai dengan turut berpartisipasi dalam pelaksanaan ibadah agama lain. Misalnya membolehkan memberi ucapan selamat hari raya umat agama lain. Padahal menurut Ustadz Abdul Somad ada prinsip yang bertentangan dengan Al-Quran yang dilanggar jika seorang muslim memberikan ucapan Selamat Natal dan hari raya agama lain. Jika muslim memberikan ucapan Natal maka dia mengakui bahwa Isa anak Tuhan, lahir pada 25 Desember dan meninggal di palang salib. Hal ini tentu saja berbeda dengan yang diajarkan dalam Islam. Maka toleransi dalam Islam adalah dengan membiarkan umat beragama lain menjalankan ajaran agamanya masing-masing, ‘bagimu agamamu bagiku agamaku.’
Adapun makna umat wasathiyah dalam QS. Al-Baqarah ayat 143 adalah umat yang adil. Demikian menurut Imam asy-Syaukani dalam kitabnya, Fath al-Qadir, juga Imam al-Qurthubi dalam kitabnya, Tafsir al-Qurthubi. Dalam penjelasannya, KH Shiddiq Al Jawi menegaskan bahwa yang dimaksud umat yang adil ini bukanlah umat pertengahan antara umat Yahudi dan umat Nasrani, seperti penafsiran sebagian orang. Bukan pula pertengahan dalam arti posisi tengah antara ifrath (berlebihan) dan tafrith (longgar), melainkan umat yang memiliki sifat adil dalam memberikan kesaksian (syahadah). Pasalnya, umat Islam akan menjadi saksi kelak pada Hari Kiamat, bahwa para nabi sebelum Rasulullah saw. telah menyampaikan wahyu kepada umatnya masing-masing.
Allah swt. berfirman,
“(Dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri dan Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (QS An Nahl :89)
Maha Benar Allah yang telah menurunkan Islam melalui Rasulullah saw. dengan syariat yang tak ada keraguan sedikit pun di dalamnya. Sangat disayangkan bila ada di di antara hamba-hamba-Nya yang menyangsikan ajaran Islam hingga harus ditambal dengan moderasi maupun deradikalisasi. Seolah Sang Maha Pencipta seluruh alam semesta keliru menetapkan syariat yang menjadi Rahmat bagi seluruh manusia. Na’udzubillah.
Alhasil Islam itu solusi. Tegaknya niscaya mendatangkan harmoni. Syaratnya, syariat Islam diterapkan secara kafah sebab hal tersebut juga sebagai konsekuensi iman yang hakiki. Tidakkah kita rindu berkah dari Yang Maha Menepati Janji?
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, …” (QS Al A’raaf: 96). Wallaahu a’lam. [LM/UD]