Cukupkah Speak Up untuk Hentikan KDRT?


Oleh: Carminih, SE

 

Menteri Pemberdayaan Perempuan Perlindungan anak (PPPA), Bintang Puspayoga mengajak masyarakat berani angkat bicara apabila menjadi korban atau sebagai saksi pelecehan seksual terhadap perempuan dan anak. “Pada kesempatan ini, kami sampaikan tidak pernah berhenti dari tahun 2020 untuk mengkampanyekan dare to speak up, akan menjadi penting bahwa tidak hanya korban yang melaporkan, tetapi yang mendengar, melihat juga harus melaporkan,” kata Bintang. (megapolitan.kompas.com, 25/9/2022)

 

Dari dulu hingga sekarang, Kekerasan Dalam Rumah Tangga) KDRT menjadi momok bagi perempuan dan anak-anak. Berbagai upaya dilakukan, dari mulai regulasi hingga lembaga telah dibuat untuk menanganinya. KDRT bukannya teratasi dan menghilang tapi justru kasusnya terus bertambah. Ini menjadi pertanyaan untuk kita, kenapa KDRT begitu sulit dihentikan? Apakah solusi yang disuguhkan sudah tepat?

 

Kalau kita amati, terus bertambahnya kasus KDRT, tidak terlepas dari aturan hidup yang melingkupi masyarakat saat ini, yaitu sistem kapitalisme sekuler bernuansa liberal. Sistem kapitalisme melahirkan sebuah paradigma berpikir berorientasi kesenangan duniawi. Sementara paham sekuler juga paham liberal, berpandangan bebas dan menjadi asas aturan sekarang. Semua itu membentuk manusia-manusia yang menuhankan hawa nafsunya, mengejar kesenangan duniawi, dan enggan diatur oleh aturan agama (Sang Pencipta).

 

Speak up atas kekerasan adalah satu keharusan, namun speak up saja tidak akan mampu tuntaskan masalah KDRT. Meskipun sudah banyak regulasi yang disahkan di negeri ini, namun tidak berdaya. Karena, negara tidak memberikan dukungan sistem kehidupan, yang mendorong terbentuknya keluarga sakinah mawadah warahmah. Fakta bahwa maraknya KDRT dipicu oleh kemiskinan dan perselingkuhan, menjadi bukti tidak adanya dukungan sistem dari negara.

 

Di sisi lain, kaum feminis memandang bahwa akar masalah KDRT adalah adanya ketidaksetaraan laki-laki dan perempuan dalam rumah tangga. Posisi laki-laki sebagai pemimpin bagi perempuan, dipandang menjadikan perempuan sebagai pihak lemah, sehingga menjadi korban kekerasan laki-laki. Padahal kalau ditinjau lebih konkrit, akar masalah KDRT bukan karena kepemimpinan suami tetapi akibat hilangnya konsep Islam dalam berumah tangga.

 

Islam memiliki aturan paripurna terkait kehidupan berumah tangga, sekaligus solusi terhadap berbagai masalah. Aturan tersebut di antaranya: Pertama, Islam menetapkan bahwa kehidupan rumah tangga adalah kehidupan persahabatan. Agar persahabatan suami istri menjadi persahabatan yang damai dan tentram (sakinah), syariat Islam menjelaskan hak istri atas suaminya dan hak suami atas istrinya. Sebagaimana Allah berfirman: “Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf.” (TQS. Al-Baqarah: 228)

 

Kedua, Islam memerintahkan pergaulan yang makruf (baik) antara suami dan istri. Allah juga memerintahkan pergaulan yang baik di antara suami istri dengan firman-Nya: “Dan bergaulah dengan mereka secara makruf (baik) (TQS. An-nisa: 19)

 

Ketiga, Islam menetapkan kepemimpinan suami atas istri dalam rumah tangga. Dalam kehidupan suami istri, adakalanya terjadi masalah yang membuat suasana tidak baik. Untuk menyelesaikan berbagai masalah tersebut, Allah Swt. menetapkan kepemimpinan rumah tangga berada di tangan suami. Sebagaimana Allah berfirman: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita (TQS. An-nisa: 34).
Ketika seorang istri membangkang pada suaminya, Allah telah memberikan hak pada suami untuk mendidik istrinya. Allah Swt. berfirman: “Wanita-wanita itu yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pukul mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari cari jalan untuk menyusahkannya.” (TQS. An-nisa: 4)

 

Pukulan yang dimaksud bertujuan ta’dib (mendidik), bukan dari hawa nafsu (emosi). Berupa pukulan ringan yang tidak membahayakan (menyakitkan). Hal itu sebagaimana Rasulullah Saw. menjelaskan dalam khotbah beliau ketika haji Wada. Saat itu beliau bersabda: “Jika mereka melakukan tindakan tersebut (yakni nusyuz) maka pukulah mereka dengan pukulan yang tidak membahayakan (menyakitkan).” (HR. Muslim dari jalur Jabir ra.)

 

Keempat, Islam menetapkan mekanisme penyelesaian masalah dalam rumah tangga. Pada saat kehidupan suami istri terjadi persengketaan yang dapat mengancam ketentraman. Islam mendorong mereka bersabar memendam kebencian yang ada. Ini karena bisa jadi pada kebencian itu terdapat kebaikan. Allah Swt. berfirman: “Dan bergaulah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (TQS. An-nisa: 19)

 

Maka sejatinya aturan solutif itu adalah syariat Islam, yang berasal dari Allah Swt. Dan hanya dengan penerapan aturan Islam, akan terwujud lah keluarga sakinah mawadah warahmah, jauh dari pertengkaran dan kekerasan.

Wallahu A’lam bish-shawwab

Please follow and like us:

Tentang Penulis