Banjir Jadi ‘Tradisi’, Apa Kabarnya Mitigasi?

Oleh: Ummu Zhafran
Pegiat Literasi

 

 

Lensamedianews.com–  Mencermati persoalan banjir di Jakarta, dan di banyak daerah lainnya jelas terlihat masalahnya tak sekedar air. Curah hujan yang tinggi memang membuat debit air meluap. Tapi tidakkah hal tersebut terjadi setiap tahun di musim penghujan? Apa yang membuat tiap tahunnya tampak semakin parah akibatnya?

Terlebih, jika boleh jujur, gonta-gantinya pemimpin ternyata tak kunjung menelurkan solusi yang tuntas. Meski tak sedikit upaya perbaikan yang telah dilakukan, namun kenyataannya banjir selalu saja berkunjung setiap tahun.

Maka sudah seharusnya kita berhenti mencari siapa yang salah. Mulailah menyadari bahwa perkara banjir perkara sistemis. Menyangkut orientasi kebijakan mitigasi yang selama ini dianut, demi mewujudkan kemaslahatan publik atau justru untuk kepentingan individu maupun swasta, dalam hal ini oligarki.

Terlihat dengan mata telanjang, pembangunan demi pembangunan yang dijalankan semakin lama absen dari keberpihakan terhadap kepentingan publik melainkan berpihak pada pemilik modal maupun para pengusaha. Lahan yang seharusnya jadi sumber penghidupan bagi rakyat disulap dengan segala cara menjadi area perindustrian, perdagangan dan perkantoran. Lagi-lagi dengan semangat mengejar fulus. Dampaknya antara lain, menurunnya persentase ruang terbuka hijau (RTH) dan daerah resapan air. Wajar bila kemudian banjir jadi sukar diantisipasi.

Memang benar, mitigasi bukannya tak pernah dilakukan. BMKG pun (Badan Meteorologi dan Geofisika) pun tak kurang memberi peringatan sejak dini. Namun kenyataannya banjir terus terjadi bak ritual tahunan. Maka bukan hal aneh jika publik menangkap kesan bahwa pemerintah tak serius menangani persoalan. Miris, karena ini lagi-lagi membuktikan cengkeraman kapitalisme atas Ibu Pertiwi. Salah satu tabiat yang menonjol dari ideologi kapitalisme ini adalah ketika negara berlaku layaknya fasilitator ketimbang regulator, sementara posisi regulator langsung maupun tidak langsung kemudian ditempati oligarki. Sampai di titik ini, bukan lagi terserah rakyat pastinya, tapi bagaimana sebuah regulasi bisa mendatangkan manfaat maupun profit bagi para pemodal alias pemilik kapital yang kuat.

Selama hal tersebut dibiarkan, masalah demi masalah akan terus bermunculan. Sengkarut banjir juga tak luput di antaranya. Satu-satunya jalan menuntaskan seluruh problem tersebut dengan meninggalkan biangnya, kapitalisme-demokrasi dan mengambil Islam sebagai penggantinya. Ya, apalagi kalau bukan Islam, risalah yang diturunkan Sang Maha Pencipta kepada Baginda Muhammad saw. untuk seluruh umat manusia. Allah Swt. berfirman,

“Dan Kami tidak mengutusmu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya, sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada menge-tahui.” [QS. Saba’ (34): 28]

Mengutip dari kitab tafsir karya Imam Ibnu Katsir, Qatadah mengatakan sehubungan dengan makna ayat ini, bahwa Allah Swt. mengutus Muhammad Saw. kepada bangsa Arab dan non-Arab, sedang orang yang paling mulia di antara mereka adalah yang paling bertakwa dan taat kepada Allah Swt.

Dengan sendirinya bertentangan dengan kapitalisme yang sarat dengan kepentingan oligarki, Islam justru menempatkan kemaslahatan seluruh manusia sebagai prioritas yang harus dijamin oleh negara.

Tak bisa dipungkiri bahwa hujan maupun banjir sesungguhnya tak lepas dari kehendak Allah. Hanya saja Allah SWT juga memerintahkan individu, masyarakat, hingga negara untuk menjaga lingkungan. Bahkan Islam menetapkan tugas negara untuk mengelola semaksimal mungkin sumber daya yang ada untuk kebaikan publik secara keseluruhan. Tidak untuk diserahkan ke pribadi, golongan maupun swasta demi keuntungan yang juga sifatnya pribadi dan golongan tertentu saja.

Sejarah mencatat di masa kekhilafahan Islam, banjir pernah beberapa kali melanda Baitullah, di Masjidil Haram, Mekah. Saat itu, pemerintah setempat segera memperbaiki sistem drainase di sekitar Baitullah. Perbaikan lain juga dilakukan supaya kegiatan beribadah haji dan umroh tidak terganggu.

Demikian pula tata kota dan peradaban dalam Islam dikelola dengan visi jangka panjang. Arahnya jelas berpihak pada rakyat. Bukan sekedar pencitraan jelang pemungutan suara, tidak juga dengan membangun infrastruktur yang katanya untuk kepentingan rakyat tapi dengan cara berutang ugal-ugalan.

Hanya saja, mengambil Islam mustahil tanpa menegakkannya secara kafah. Hal ini sesuai dengan apa yang menjadi warisan Rasulullah saw. yang dituntun wahyu dari Allah Swt. Sayang, ada yang menganggap hal ini radikal bahkan diberi stigma intoleran. Padahal Allah Swt. begitu menyayangi segenap manusia, makhluk ciptaan-Nya. Tidakkah kita bisa merasakannya lewat setiap hembusan nafas yang kita hirup?Wallaahua’lam. [LM/UD]

Please follow and like us:

Tentang Penulis