Gaji Besar Tidak Menjamin Pejabat Bebas Korupsi
Oleh: Silviana
(Aktivis Muslimah)
Lensa Media News – Kasus dugaan penerimaan suap yang dilakukan Hakim Agung non-aktif Sudrajad sangat disayangkan, karena ia telah memperoleh pendapatan hampir ratusan juta per bulan di luar honorarium per perkara yang diadilinya. Dalam kasus yang menjeratnya, Sudrajad diduga menerima suap hingga Rp800 juta melalui hakim yustisial/panitera pengganti Mahkamah Agung Elly Tri Pangestu.
Peneliti Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan, Arsil, menyayangkan seorang hakim agung melakukan korupsi. Menurut Arsil, salah satu faktor yang cukup besar menyebabkan korupsi di peradilan adalah rendahnya kepastian hukum. Ketika hukum itu tidak pasti dan tidak terduga, maka bisa memberikan diskresi yang besar pada aparatnya. Diskresi yang terlalu besar ini membuka peluang besar terjadinya korupsi. (kompas.com)
Hukum demokrasi memang lentur. Hukum bisa dikompromikan tergantung siapa yang berkuasa. Dari lembaga eksekutif, legislatif, hingga yudikatif sarat dengan kepentingan. Siapa yang berkuasa, dialah pemegang otoritas hukum sesungguhnya. Inilah hukum rimba demokrasi. Hukum berlaku sesuai “pesanan”. Dalam demokrasi, hukum bisa diperjualbelikan, aturan bisa berganti, korupsi berjemaah juga bisa terjadi.
Sebab, negara lemah melakukan kontrol dan pengawasan terhadap para pejabat dan penegak hukumnya. Jangankan pejabat eksekutif dan legislatif, pejabat yudikatif seperti hakim atau jaksa saja bisa terjerat korupsi. Itu berarti korupsi bukan lagi penyakit perseorangan. Namun, ia penyakit bawaan sistem yang sedang diterapkan, yaitu demokrasi-kapitalisme.
Jika korupsi sudah menggurita maka yang harus dilakukan adalah mengganti sistemnya, bukan menghukum per individunya. Sebab, sistem inilah yang menjadikan penyakit korupsi bertahan dan menular kepada yang lain. Harus ada kebijakan fundamental bila kita ingin memberantas korupsi secara tuntas. Agar pemberantasan korupsi tidak sekadar mimpi dan ilusi.
Islam memiliki cara tersendiri dalam mencegah dan menangani tindak korupsi. Sebab, dalam negara Khilafah, korupsi bukanlah budaya dan kebiasaan yang menjalar di tubuh umat. Ia adalah penyakit yang harus diberantas dengan totalitas hingga seluruh pejabat negara dapat menjalankan amanah rakyat dengan sebaik-baiknya.
Bagaimana Islam memberantas korupsi? Yang pertama, penanaman akidah setiap individu. Negara akan melakukan pembinaan akidah kepada setiap individu muslim agar terbangun ketaatan mereka kepada Allah dan Rasul-Nya. Dengan berbekal ketaatan inilah masyarakat akan terjaga dari perbuatan dosa dan maksiat.
Kedua, lingkungan yang mendukung ketaatan. Dengan pembiasaan amar makruf nahy munkar, masyarakatlah yang menjadi pengontrol dan pengawas setiap perilaku individu. Kehidupan masyarakat Islam yang berorientasi akhirat akan menciptakan individu bertakwa.
Ketakwaan komunal inilah yang tidak bisa tercipta di sistem sekuler-demokrasi. Sebab, dalam demokrasi agama bukanlah panduan dalam hidup bermasyarakat dan bernegara. Sementara dalam Islam, ketaatan kepada syariat adalah kewajiban yang harus dijalankan pada diri setiap muslim.
Ketiga, waskat (pengawasan melekat). Negara Khilafah akan membentuk Badan Pengawasan/Pemeriksa Keuangan. Syekh Abdul Qadim Zallum dalam kitab Al-Amwal fi Daulah Khilafah menyebutkan, untuk mengetahui apakah pejabat dalam instansi pemerintahan itu melakukan kecurangan atau tidak maka ada pengawasan yang ketat dari Badan Pengawasan/Pemeriksa Keuangan.
Keempat, pemberian gaji yang layak bagi pejabat. Ketika gaji cukup, para pejabat tidak akan tergoda berlaku curang. Selain itu, Islam menetapkan penghitungan harta pejabat secara berkala. Jika ada penggelembungan harta tidak wajar, negara akan meminta pertanggungjawaban atas harta tersebut apakah mereka mendapatnya dengan cara halal atau curang.
Kelima, pemberlakuan sanksi tegas kepada para pelaku kecurangan. Dalam Islam, koruptor dikenai hukuman ta’zir berupa tasyhir atau pewartaan (dulu dengan diarak keliling kota, sekarang mungkin bisa ditayangkan di televisi seperti yang pernah dilakukan), penyitaan harta, dan hukuman kurungan, bahkan sampai hukuman mati.
Penanaman keimanan yang kuat, bimbingan, pengawasan, pemilihan pejabat yang profesional dan amanah, serta hukuman yang membuat jera telah membentuk suatu sistem yang handal untuk memberantas korupsi. Sistem tersebut bukan ada dalam dokumen-dokumen semata, namun tercermin dalam kehidupan riil, menjadi pola kehidupan masyarakat Islam setelahnya. Hingga muncullah sosok-sosok luar biasa dalam penegakan hukum dan pemberantasan korupsi.
Demikianlah Islam menetapkan sejumlah tindakan tegas dan terukur, baik dalam pencegahan maupun penanganan terhadap perilaku korupsi dan tindakan kriminal lainnya. Memberantas korupsi di sistem Islam bukanlah mimpi atau ilusi. Namun, fakta yang sudah terbukti tatkala Islam diterapkan secara kafah dalam bingkai negara Khilafah. Wallahu a’lam.