Kemunculan  Bjorka, Benarkah Pengalihan Isu? 

Oleh: Kartiara Rizkina M S. Sosio (Pengamat Sosial dan Aktivis Muslimah Aceh) 

 

Lensa Media News – Sudah beberapa pekan netizen Indonesia di hebohkan dengan kemunculan seorang hacker yang yang menamai dirinya Bjorka. Namun, netizen juga berbeda pandangan dengan kemunculannya di tengah masyarakat. Ada yang menganggapnya sebagai pahlawan, karena berhasil membongkar beberapa data milik pejabat negara. 

Diantaranya ada Menkominfo Johnny G. Plate, Dirjen Aptika Kominfo, Semuel A. Pangerapan, Ketua DPR, Puan Maharani, dan Menteri BUMN, Erick Thohir. Tapi tak sedikit juga yang beranggapan bahwa tindakan Bjorka sudah melanggar hukum karena meretas data pribadi. 

Kemunculan Bjorka tidak hanya ramai di kalangan netizen tapi juga ramai di pemerintahan. Pemerintah ramai-ramai memburunya, dari mulai Mabes Polri hingga Presiden turun tangan, bahkan membentuk timsus (tim khusus) untuk menyelesaikannya. Namun, alih-alih memuji kinerja pemerintah yang gercep, publik malah mempertanyakan aksi tersebut dengan menyebutnya sebagai pengalihan isu.

Pasalnya, bersamaan isu kenaikan BBM dan kasus Ferdy Sambo mendadak tenggelamkan dengan munculnya Bjorka yang trending di medsos. Dalam hal ini, banyak pihak mengimbau masyarakat agar waspada terhadap kemungkinan pengalihan isu. Netizen diminta terus mengawal kasus Sambo yang kian ruwet dan kenaikan BBM yang tidak dipedulikan. 

Kenapa demikian, melihat sulitnya kasus Sambo ini, banyak pihak yang mencurigai hasil akhirnya. Seperti eks Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo. Ia awalnya menilai kasus Brigadir J adalah wahana perang antara dua kubu polisi. “Ini ada pertempuran, di intern polisi, antara polisi yang bajingan, pengkhianat, pembunuh, dengan polisi yang bermoral, profesional, dan menegakkan jati dirinya sebagai pelindung rakyat,” ungkap Gatot. (Suara.com 17/9/2022) 

Namun demikian, terlepas benar atau tidaknya hacker Bjorka dihadirkan untuk mengalihkan isu, namun ada poin yang sudah terang untuk kita lihat, yakni ketidakbecusan rezim, ada beberapa poin dengan jelas bisa kita pahami. Pertama, adapun pemerintah lalai dalam melindungi data pribadi. Menurut pakar IT Ismail Fahmi, hampir tidak ada perlindungan data pribadi di negeri ini. Anehnya lagi respon Kominfo minta Hacker jangan menyerang,  “Kalau bisa jangan nyeranglah, orang itu perbuatan illegal access kok. Setiap serangan itu yang dirugikan rakyatnya”. (Suara.com 12/9/2022) 

Seharusnya, pemerintah bersegera memperbaiki sistem keamanan data agar tidak mudah diretas hacker lagi, bukan malah minta hacker berhenti. Ini bukti bahwa rezim lemah menjaga keamanan data rakyat. 

Kedua, pemerintah salah tuduh dan salah tangkap pemuda yang di duga orang di balik nama Bjorka. Tentu ini juga membuat publik heran. Hal ini terjadi karena Pemerintah Indonesia menerima informasi keliru (mis informasi) dari Dark Tracer. Bukankah sudah dibuat timsus (tim khusus) untuk apa percaya dengan pihak lain, ini menunjukkan ketidakmampuan pemerintah. Selain gagal menjaga keamanan data masyarakat, pemerintah juga gagal menemukan sang hacker Bjorka. 

Selanjutnya, hal ketiga yang perlu dicermati adalah fenomena public distrust (ketidakpercayaan publik) yang kian nyata. Hacker Bjorka yang dianggap pahlawan, menjadi satu dari sekian bukti adanya ketidakpercayaan rakyat pada pemerintah. Mulai dari ketidak jelasan kasus sambo, BBM yang katanya tahun ini tidak akan naik, keamanan data pribadi masyarakat, sampai salah tangkap orang. Ditambah kerja rezim kian hari kian tak jelas. Semakin menghilangkan kepercayaan masyarakat. 

Inilah wajah rezim penguasa Demokrasi, yang tak becus mengurusi negara. Kebocoran data yang tidak hanya sekali, munculnya hacker, kenaikan BBM, kasus Sambo merupakan bukti. Betapa tidak, selama ini penguasa alih-alih berupaya dengan berbagai cara untuk memperkuat pertahanan digital demi menjaga wibawa negara sekaligus menjaga keamanan warganya, penguasa justru sibuk mengurus hal yang kontraproduktif dengan upaya menyolidkan hubungan dengan rakyatnya.

Terkait keamanan digital misalnya, pihak stakeholder justru fokus ke arah proyek penanggulangan isu radikalisme di dunia maya.Bahkan dana yang dikeluarkan tidak tanggung-tanggung mencapai milyaran. Namun, proyek ini justru telah memicu polemik berkepanjangan dan menjadi teror terselubung bagi masyarakat yang berposisi sebagai oposan. Keberadaan polisi siber dan UU ITE bahkan cenderung jadi alat gebuk penguasa terhadap pihak-pihak yang berseberangan. 

Maka perlu bagi kita memahami sub-sub kejadian ini merupakan kerja yang tersistemik daripada kita hanya beranggapan bahwa ini pengalihan isu. 

Wallahua’lam

 

[LM]

Please follow and like us:

Tentang Penulis