Kebocoran Data: Keamanan Negara Dipertanyakan?

Oleh: Carminih, S.E.
(Pegiat Literasi Islam) 
Lagi dan lagi, data pribadi warga Indonesia bocor di dunia maya. Kali ini kebocoran data diduga dari registrasi kartu SIM prabayar yang prosesnya mulai dilakukan sejak 2017 silam. Dalam postingan di forum breached.to, seorang pengguna bernama Bjorka memposting data tersebut. Menurutnya data berukuran 87 GB tersebut berisi data dari 1,3 miliar pendaftar. Dalam data tersebut berisi Nomor Induk Kependudukan (NIK), nomor telepon, nama operator seluler, bahkan tanggal registrasi. Seorang pengamat siber dari Vaksincom bernama Alfons Tanujaya, mengaku sudah mengecek data tersebut. Menurutnya data yang disebar tersebut autentik. (detik.net, 01/09/2022)
Kebocoran data di Indonesia bukan kali pertama, tapi sudah terjadi beberapa kali. Dan tentunya hal ini sangat mengkhawatirkan. Melansir tirto.id (01/09/2022) kebocoran data pun terjadi di tubuh PLN. Lebih dari 17 juta data bocor dan dijual ke forum peretas. Data-data yang bocor tersebut di antaranya adalah identitas, nama pelanggan, tipe energi, KWh, alamat, dan tipe meteran, serta nama unit UPI.
Kejadian ini memicu anggota komisi I DPR dari fraksi PKS yakni Sukamto ikut angkat bicara. Beliau meminta agar Kemenkominfo segera mengevaluasi sistem perlindungan data. Bahkan meminta agar segera menjelaskan kepada publik, melakukan mitigasi risiko, dan memberikan pertanggungjawaban publik. Namun, sampai saat ini Kemenkominfo belum memberikan tanggapan mengenai kasus tersebut.
Sungguh miris memang, pemerintah yang diharapkan oleh rakyat sebagai perisai dan pelindung, justru gagal menjaga data pribadi rakyatnya. Padahal, kebocoran data ini berpotensi untuk disalahgunakan oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Kondisi seperti ini menunjukkan bahwa kebijakan penguasa tidak memiliki kesiapan yang matang. Contohnya saat pengguna SIM card harus memasukkan NIK dan KK saat akan melakukan registrasi, namun justru data-data tersebut bocor. Semestinya pemerintah sudah menyiapkan seperangkat sistem penjaganya.
Inilah wajah asli kepemimpinan di negeri ini. Alih-alih memberikan perlindungan kepada rakyat, penguasa justru lebih mementingkan segelintir elit kekuasaan dan para pemilik modal. Dan kebijakan itu selalu terulang dan terus dilestarikan dalam kepemimpinan rezim kapitalis saat ini. Karena dalam sistem kapitalisme, materi adalah sumber kebahagiaan. Oleh karena itu, apa pun yang dapat mendatangkan materi akan terus diburu, walaupun harus menghalalkan segala cara. Sehingga tidak heran kasus kebocoran data ini, demi kepentingan politik dan bisnis bisa saja terjadi. Karena semua pihak hanya mementingkan kepuasan pribadi, kelompok, atau lembaganya.
Melihat fakta seperti ini, membuat kita sadar bahwa memang sudah saatnya umat kembali kepada sistem Islam. Sistem yang bersumber dari Allah SWT, yang menjamin keberkahan di dalamnya. Karena Islam bukan hanya agama ruhiyah, tetapi Islam juga sebagai ideologi yang dibawa oleh Rasulullah saw. di muka bumi ini dan kemudian dilanjutkan oleh kaum muslimin selama kurang lebih 13 abad.
Rasulullah saw. menjelaskan bahwa seorang kepala negara adalah pengatur dan perisai, juga sebagai pelindung atau junnah bagi rakyatnya. Baik itu rakyat muslim ataupun nonmuslim. Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya al-Imam (khalifah) itu perisai, dimana orang-orang akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan kekuasaannya.” (HR. Al-Bukhari Muslim dan Abu Dawud)
Imam atau khalifah akan mencegah musuh dari segala perbuatan yang akan mencelakai kaum muslim. Lalu mencegah sesama manusia melakukan kezaliman, memelihara kemurnian ajaran Islam. Sehingga rakyat berlindung di belakangnya dan mereka tunduk di bawah kekuasaannya, termasuk melindungi data pribadi rakyatnya. Mudah bagi negara untuk menutup akses informasi yang merusak bagi rakyatnya tanpa mempertimbangkan kerugian materi. Karena keberadaan kepala negara adalah sebagai pengatur dan pelindung bagi rakyatnya, dengan menerapkan segala aturan yang telah Allah turunkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Negara membutuhkan infrastruktur dan instrumen yang menunjang pelaksanaan keamanan data pribadi setiap rakyatnya. Ditambah dukungan SDM yang mumpuni seperti ahli dan pakar di bidang ekonomi informasi. Sehingga perlindungan privasi tidak boleh bersikap reaktif. Artinya negara fokus pada antisipasi atau pencegahan. Bukan baru bergerak pada saat muncul masalah.
Sehingga dengan infrastruktur, instrumen hukum dan tata kelola yang terintegrasi dengan baik, maka keamanan data pribadi rakyat akan terjamin. Karena memang inilah tugas negara yang sesungguhnya. Namun semua itu hanya bisa terwujud dalam negara yang menerapkan sistem aturan Islam secara menyeluruh dalam bingkai Khilafah Islamiyah.
Wallahu a’lam bishshawab.
[LM/Ah]
Please follow and like us:

Tentang Penulis