Buzzer Terus Berulah, Buah Sistem Hukum yang Tak Bertuah

Oleh: Teti Ummu Alif
(Pemerhati Masalah Umat)
Pegiat media sosial Eko Kuntadhi tersandung masalah. Pasalnya, ia mengunggah video yang dinilai menghina putri kiai Ponpes Lirboyo, Kediri, Jawa Timur, yaitu Imaz Fatimatuz Zahra atau lebih dikenal dengan nama Ning Imaz. (Solopos.com, 17/09/2022)
Kasus tersebut bermula saat Eko mengunggah potongan video Ning Imaz yang diproduksi NU online. Dalam video itu Ning Imaz memberi penjelasan tentang tafsir surah Ali Imran ayat 14. Di akun Tiktok NU online, ceramah Ning Imaz diberi judul “Lelaki di Surga Dapat Bidadari, Wanita Dapat Apa?“. Lalu Eko mengunggah potongan dari video tersebut sembari menuliskan kalimat yang tidak beradab dan bernada kasar. Sesaat setelah video tersebut viral dan mendapatkan respon negatif dari warganet, Eko bertandang ke Lirboyo untuk menyatakan permintaan maaf kepada Ning Imaz.
Sebenarnya, hal yang dilakukan Eko bisa dikategorikan sebagai olok-olokan terhadap ajaran Islam dan bisa dijerat dengan pasal-pasal yang berlaku. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Ketua LBH Pelita Umat, Chandra Purna Irawan. Ia menyatakan bahwa pertama, Eko Kuntadhi terindikasi dan berpotensi melecehkan tafsir ayat Al-Qur’an. Sehingga, Eko dianggap sama saja dengan melecehkan Al-Qur’an. Sebab, pandangan Ning Imaz ini sejalan dengan pandangan para mufasir salah satunya Imam Ibnu Katsir. Eko bisa dijerat pasal 156a KUHP.
Kedua, tindakan Eko Kuntadhi tergolong menghina dan merendahkan kredibilitas Ning Imaz yang memiliki otoritas untuk menjelaskan tafsir Al-Qur’an berdasarkan keilmuan yang dimiliki. Dalam hal ini, Eko bisa diduga melanggar ketentuan pasal 310 KUHP terkait menyerang kehormatan atau nama baik seseorang.
Ketiga, Eko bisa dinilai memenuhi unsur UU ITE dengan delik pasal 27 ayat (3) UU Nomor 19 tahun 2016 tentang perubahan UU Nomor 11 tahun 2008 terkait Informasi dan Transaksi Elektronik. Lalu keempat, Eko dapat dinilai memenuhi unsur delik pasal 28 ayat 2 UU Nomor 19 tahun 2016 UU ITE. Sebab, ia diduga menyebarkan kebencian dan permusuhan berdasarkan suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA).
Sekalipun Eko sudah meminta maaf dan menghapus video tersebut dari akun Twitter-nya. Ia tak bisa lari dari tanggung jawab hukum. Karena, ketika Eko mengunggah video, capture-nya sudah beredar. Tindakan ini sudah memenuhi unsur ‘menyebarkan’ dan tidak bisa ditarik dengan dalih telah dihapus. Bahkan, dalam pasal 28 ayat (2) Jo pasal 45a UU ITE tentang pidana disebutkan menyebar kebencian dan permusuhan berdasarkan SARA tetap harus diproses karena pasal ini bukan delik aduan.
Publik jelas menunggu proses hukum Eko Kuntadhi. Terlebih sebelum tersandung kasus penghinaan dan pelecehan terhadap Ning Imaz, Eko diketahui memiliki riwayat panjang yang menyerang pribadi sejumlah ulama. Di antaranya Eko mendukung langkah Singapura mendeportasi Ustaz Abdul Somad (UAS).
Namun, jika untuk kesekian kalinya perbuatan Eko ternyata tidak ada proses hukum, maka hal ini mengindikasikan bahwa sokongan rezim terhadap buzzer penghina Islam semakin besar. Sebab, kasus penistaan agama telah banyak diadukan. Tetapi penguasa justru lamban menangani kasus-kasus tersebut. Bahkan, sebagian besar kasus tidak digubris dan akhirnya menguap begitu saja. Sungguh miris.
Sejatinya, penghinaan terhadap simbol atau ajaran Islam hanyalah efek samping penerapan sistem berwajah sekuler. Sistem ini memisahkan agama dari kehidupan. Dengan kata lain, sekularisme merupakan sistem yang alergi dengan agama, khususnya Islam politik. Karena, ajaran Islam yang kaffah bisa mengancam eksistensi sekularisme. Sekularisme akan senantiasa melahirkan dan memelihara penghina Islam agar umat tidak taat kepada Allah Ta’ala. Sehingga, akidah umat tidak akan terjaga jika sistem kehidupan masih berasaskan sekularisme.
Untuk itu, saat ini umat membutuhkan sistem kehidupan yang mampu menjaga akidah umat dari hal-hal yang merusak. Sistem tersebut tidak lain adalah sistem Islam bernama Khilafah. Institusi Khilafah memiliki seperangkat hukum untuk melaksanakan tugasnya sebagai junnah (perisai) yang akan melindungi rakyatnya, termasuk akidah umat.
Hukuman akan diterapkan ketika dakwah telah sampai kepada tiap individu rakyat. Sehingga, tidak ada satu pun rakyat yang tidak tahu bahwa melecehkan simbol atau ajaran Islam adalah perbuatan dosa. Apabila masih ada yang melanggar, maka Khilafah akan menerapkan sistem sanksi (‘uqubat). Seperti kasus Eko misalnya, kasus tersebut terkategori kedalam sanksi ta’zir. Sebab, perbuatan Eko termasuk pelanggaran kehormatan dan perbuatan yang berhubungan dengan agama. Berat atau ringannya sanksi ta’zir ditentukan oleh level kejahatan yang dilakukan pelaku. Bisa berupa ancaman untuk sanksi paling  ringan atau dibunuh untuk sanksi yang paling berat.  Wallahu a’lam. 
[LM/Ah]
Please follow and like us:

Tentang Penulis