Bongkar Desain Barat yang Merusak Muslimah Muda Melalui Kesetaraan Gender!

Oleh: Neng Ipeh
(Pemerhati Sosial dan Politik)

 

Lensamedianews.com– Di tengah pertumbuhan sektor financial technology (fintech) yang semakin pesat, perempuan rupanya masih belum sepenuhnya mendapatkan kesempatan berkarier yang setara. Padahal, industri dan lingkungan kerja yang lebih inklusif terhadap keterlibatan perempuan dapat mengoptimalkan potensinya di bidang profesional. Hal inilah yang kemudian mendorong Woman in Business Action Council (WiBAC), salah satu gugus tugas yang dibentuk B20 Indonesia untuk menggelar Side Event Forum bertema Accelerating Inclusion of Women MSME’s in The Global Economy pada tanggal 17 Juni 2022 di Hotel Fairmont, Jakarta.

Forum yang digelar secara hybrid ini merupakan side event pertama dari WiBAC B20 Indonesia, dengan tujuan untuk mengkomunikasikan rekomendasi kebijakan dan aksi yang disusun untuk memajukan pertumbuhan ekonomi global yang inklusif, tangguh, dan berkelanjutan melalui pemberdayaan perempuan.  Side Event ini dihadiri oleh 150 peserta offline dan hingga 1.000 online dari negara-negara G20 yang terdiri dari pejabat tinggi pemerintah, pemimpin bisnis, CSO, filantropis dan platform perempuan serta pemangku kepentingan terkait lainnya.

Menurut Chair of B20 Indonesia Shinta Kamdani, WiBAC B20 Indonesia percaya ada peluang pertumbuhan 28 triliun dolar AS pada ekspansi PDB global di tahun 2025 jika perempuan dan laki-laki berpartisipasi secara setara sebagai pengusaha. “B20 Indonesia akan menjembatani dan mengatasi kesenjangan antara perempuan dan laki-laki dalam dunia bisnis melalui rekomendasi kebijakan yang ditargetkan dan tindakan yang berfokus pada kemajuan perempuan dalam bisnis,” katanya. (ekonomi.bisnis.com/06/09/2022)

Di lain kesempatan, pada tanggal 11 Agustus 2022 Kedutaan Besar Amerika Serikat (AS) pun menggelar acara bertajuk Women In Fintech: Empowering The Next Generation Forum 2022, yang menjadi wadah untuk mendiskusikan tantangan yang dihadapi perempuan di sektor fintech. Duta Besar AS untuk Indonesia Sung Yong Kim mengatakan AS sangat bangga bisa menyelenggarakan forum Women in Fintech 2022. Menurutnya, pemberdayaan perempuan adalah faktor penting dalam keberhasilan Indonesia melakukan transformasi digital dan kesetaraan gender. “Ini adalah peluang yang sangat baik mengangkat dua topik sangat penting. Pertama bagaimana Indonesia bisa melakukan transformasi digital dan kedua bagaimana Amerika Serikat bisa menjadi mitra yang baik dalam mencapai upaya tersebut. Selanjutnya adalah bagaimana bisa bersama-sama untuk bisa meningkatkan pemberdayaan ekonomi perempuan dan kesetaraan gender,” ujarnya. (cnbcindonesia.com/06/09/2022).

Masalah kesetaraan gender di Indonesia merupakan sebuah isu global yang telah menarik perhatian khusus dari berbagai macam stakeholders baik pemerintah, LSM (lembaga swadaya masyarakat), mahasiswa, maupun masyarakat sipil.

Hal ini karena di era modern masih ada banyak pelanggaran hak dan kesenjangan kesempatan yang dialami perempuan atau merugikan banyak perempuan, seperti kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan seksual, upah lebih rendah, kurangnya akses ke pendidikan, dan lainnya. Di sisi lain, selama ratusan tahun gerakan hak perempuan telah melakukan kampanye di berbagai dunia untuk menghapus aturan, perilaku, stigma dan tradisi yang tidak berpihak pada perempuan. Menurut mereka, seharusnya seorang perempuan dapat memiliki hak dan kesempatan yang setara dengan gender lainnya.  Sehingga perlu ada perjuangan khusus agar hak-hak perempuan dapat terpenuhi.

Sudahkah Kesetaraan Gender Itu Tercapai?

Meski isu keadilan gender telah diadopsi ke dalam hukum internasional yakni Universal Declaration of Human Rights sejak 1948, ketidakadilan gender masih menjadi salah satu permasalahan krusial dalam proses pembangunan di berbagai belahan dunia terutama negara berkembang termasuk Indonesia.

Menurut World Economic Forum yang merilis laporan tahunan Global Gender Gap Report 2022 pada tanggal 31 Juli 2022 lalu, setelah mengamati 146 negara menyebutkan bahwa dengan laju pencapaian seperti saat ini kesetaraan gender secara global baru bisa tercapai dalam waktu 132 tahun mendatang. Hasil laporan itu diambil dengan melihat empat sektor, dari partisipasi dan peluang ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan politik. Data yang diperiksa oleh WEF menunjukkan kesenjangan dalam pemberdayaan politik telah melebar secara signifikan dibandingkan pada laporan 2021. (weforum.org/07/09/2022)

Gerakan Kesetaraan Gender dalam Dunia Islam

Hingar bingarnya isu-isu feminisme telah melahirkan beraneka respon dari berbagai pihak di Dunia Islam, di antaranya ialah semakin banyaknya para propogandis feminisme baik secara individual maupun kelompok, dari lembaga pemerintah maupun LSM-LSM. Ketika ide-ide feminisme ini tersebar dan diadopsi oleh sebagian kaum muslimin, merekapun lalu membuat analisis sendiri mengenai sebab-sebab terjadinya ketidakadilan gender.

Feminisme apa pun bentuknya harus ditolak, mengingat argumen-argumen berikut ini:

Pertama, feminisme sebenarnya terlahir dalam konteks sosio-historis khas di negara-negara Barat  terutama pada abad XIX–XX M ketika wanita tertindas oleh sistem masyarakat liberal-kapitalistik yang cenderung eksploitatif. Maka dari itu, mentransfer ide ini ke tengah umat Islam, yang memiliki sejarah dan nilai yang unik, jelas merupakan generalisasi sosiologis yang terlalu dipaksakan dan tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Kedua, feminisme bersifat sekularistik, yakni terlahir dari aqidah pemisahan  agama dari kehidupan. Hal ini nampak jelas tatkala feminisme memberikan solusi-solusi terhadap problem yang ada, yang tak bersandar pada satu pun dalil syar’i. Jadi, para feminis telah memposisikan diri sebagai menjadi Musyarr’i (Sang Pembuat Hukum), bukan Allah Azza wa Jalla. Maka dari itu, tanpa keraguan lagi dapat ditegaskan, feminisme adalah paham kufur. Allah SWT berfirman:

“Siapa saja yang tidak memberikan keputusan (hukum) dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang kafir.” (Al Maaidah : 44).

Mewaspadai Gerakan Perempuan

Gerakan perempuan setidaknya berbahaya terhadap umat Islam karena tiga hal. Pertama, Menjadi legitimator ide-ide feminisme yang kufur dengan mengatasnamakan agama. Dengan kata lain, mereka memperalat dan memperkosa agama untuk mengabdi kepada ide feminisme yang kufur. Umat di sini akan dapat terkecoh bila tidak waspada dan membekali diri dengan Tsaqafah Islamiyyah yang memadai. Kedua, Menjadi alat kontrol bagi pemerintah sekuler yang ada, agar konsisten menjalankan ide-ide feminisme yang berbentuk peraturan internasional yang dikeluarkan PBB. Ini artinya, gerakan perempuan menjadi perpanjangan tangan negara-negara kapitalis-sekuler seperti Amerika Serikat dalam mendominasi Dunia Islam. Ketiga, Mengkondisikan umat Islam –khususnya muslimah-– agar ridha dan ikhlas menerima ide-ide feminisme yang batil, dengan cara terus mempropagandakannya melalui beraneka media dan sarana di berbagai forum.

Dari adanya ketiga hal tersebut, jelaslah ke mana arah yang dituju oleh gerakan-gerakan perempuan penganut feminisme. Arahnya adalah turut berpartisipasi dalam konspirasi internasional negara-negara kapitalis untuk menjadikan  ideologi kapilatisme yang kufur sebagai agama bagi seluruh umat manusia dan membuang ideologi Islam yang sahih dari perannya mengatur kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Wallahu a’lam bish-shawab. [LM/UD]

Please follow and like us:

Tentang Penulis