Remisi vs Subsidi?


Oleh: Ummu Zhafran, Pegiat Literasi

 

Bagaikan peribahasa, kemudi patah perahu pun tumbuk, derita dan kesengsaraan seakan tiada henti menyapa wong cilik di negeri ini. Momennya pun tak jarang nyaris berbarengan. Seperti yang baru saja terjadi, subsidi BBM dikurangi, sementara para napi tipikor mendapat obral remisi. Waw, kurang ironi apa lagi?

 

Seperti yang dilansir laman media daring, sejumlah koruptor dibebaskan bersyarat secara berjamaah setelah masa hukumannya terpotong remisi. Iqbal Felesiano, pakar hukum pidana Universitas Airlangga mengatakan bahwa pemberian remisi pada narapidana korupsi mencederai rasa keadilan masyarakat, berpotensi menjadikan korupsi hanya kejahatan biasa, dan tidak memberikan efek jera pada koruptor. (suarasurabaya.net, 7/9/2022)

 

Tak cukup itu, khalayak pun ramai mempertanyakan keputusan tersebut. Mengingat tindak korupsi sejatinya memang bukan kriminal biasa melainkan extra-ordinary crime. Bagaimana tidak, perbuatan melanggar wewenang jabatan, bahkan hingga memakan uang rakyat yang bukan haknya demi syahwat pribadi maupun golongan seperti yang dilakukan para terpidana tersebut impaknya sungguh merusak. Bayangkan saja, berapa banyak kebutuhan publik bisa terpenuhi jika anggarannya tidak disunat atau kekuasaan dijalankan secara amanah.

 

Tetapi nasi sudah jadi bubur. Sia-sia saja rasanya mengharap korupsi, suap, gratifikasi bakal menguap dari tanah nenek moyang kita. Sebab setiap kali putusan dijatuhkan sejatinya hanya mengikis apa yang tampak di permukaan sementara akar masalahnya tak pernah tersentuh. Padahal bila sejenak saja kita jujur dan jernih mencermati, dengan mudah terlihat biang keroknya ada pada praktik sistem demokrasi yang berjalan selama ini.

 

Sudah bukan rahasia lagi, demokrasi meniscayakan ongkos yang tak sedikit. Akibatnya kolusi alias main mata antara calon-calon pemimpin dan pengusaha hampir selalu ada. Dapat ditebak ke mana tindakan ini bermuara. Tepat, politik balas budi ujungnya. Sebab tak ada makan siang yang gratis melainkan harus membalasnya dalam berbagai bentuk, antara lain jabatan, tender, hak konsesi sumber daya alam, produk UU dan lain sebagainya.

 

Satu hal lagi yang membuktikan demokrasi sebagai tertuduh, tindak korupsi bukan hanya marak di Indonesia, tapi terjadi di masyarakat mana pun yang menerapkan nilai-nilai yang bersumber dari ideologi Barat tersebut. Ledakan korupsi bukan saja terjadi di tanah air, tapi juga terjadi di Amerika, Eropa, Cina, India, Afrika, dan Brasil. Bahkan negara-negara Barat yang dianggap matang dalam menerapkan demokrasi justru menjadi biang perilaku bobrok ini pula. Hal tersebut umumnya terjadi ketika penguasa dan pengusaha bersimbiosis mutualisma, keduanya berkepentingan menjalin relasi yang saling menguntungkan.

 

Lalu dengan apa memutus rantai kebobrokan korupsi ini? Jawabnya tentu dengan syariat Islam yang tidak terbukti gagal membasmi korupsi seperti halnya kapitalisme-demokrasi. Lebih dari itu, justru demokrasi yang lahir dari rahim kapitalisme, akar dari segala problem negeri termasuk korupsi di dalamnya.

 

Di sisi lain, syariat yang diturunkan Allah azza wa jalla kepada Baginda Nabi Muhammad saw. sudah jelas untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam. Ini janji Allah dan telah terbukti selama kurang lebih 13 abad sejak Rasulullah saw. hijrah di Madinah hingga kekhalifahan Utsmaniy yang berakhir di Turki.

 

Maka dalam Islam, pelaku korupsi tergolong orang yang berkhianat. Mengkhianati amanah wewenang yang seharusnya demi kemaslahatan rakyat, sebagai gantinya mereka berkiblat hanya untuk kepentingan diri dan golongan tertentu saja. Oleh karena itu, terhadap pelaku dan semua yang terlibat layak dijatuhi ta’zir, yaitu sanksi yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim. Bentuk sangsinya bisa mulai dari yang paling ringan, seperti sekedar nasehat atau teguran dari hakim, bisa berupa penjara, pengenaan denda (gharamah), pengumuman pelaku di hadapan publik atau media massa (tasyhir), hukuman cambuk, hingga sanksi yang paling berat, yaitu hukuman mati. Tak perlu kuatir, karena berat ringannya hukuman ta’zir ini disesuaikan dengan kadm eqâar kejahatan yang dilakukan. (Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul Uqubat)

 

Tetapi seperti kata orang bijak, mencegah selamanya lebih baik dari mengobati. Pemberian sanksi pastinya obat yang ampuh, namun meletakkan rambu-rambu agar segala bentuk khianat tak terjadi jauh lebih efektif guna mencegah masalah berkepanjangan sampai akhirnya kini menjadi benang kusut. Satu-satunya cara terbaik mengurainya dengan meletakkan pondasi iman dalam bangunan penerapan syariah kafah. Tiada cara lain.

 

Firman Allah Swt.,
“Maka demi Tuhanmu, mereka tidak beriman sebelum mereka menjadikan engkau (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, (sehingga) kemudian tidak ada rasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang engkau berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.”(QS An Nisa: 65)

 

Imam Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya menjelaskan, Allah Swt. bersumpah dengan menyebut diri-Nya yang mahamulia lagi mahasuci. Bahwa tidaklah beriman seseorang sebelum ia menjadikan Rasul Saw. sebagai hakimnya dalam semua urusannya. Semua yang diputuskan oleh Rasul Saw. adalah perkara yang hak dan wajib diikuti lahir dan batin, tanpa kecuali. Wallahua’lam. (LM/LN)

Please follow and like us:

Tentang Penulis