Dicari! Pemimpin Peduli Rakyat, Bukan yang Sibuk Menggerogoti Rakyat

Oleh: Erwina

 

Lensa Media News-Umar bin Khatthab ra memanggul sendiri sekarung gandum dari Baitul Mal ke tempat ibu penanak batu. Bahkan Umar sekaligus memasak gandum itu untuk mereka. memasakkan dan memastikan mereka makan hingga kenyang. Demikianlah hasil blusukan pemimpin Islam yang murni untuk mengurusi rakyat bukan demi pencitraan. Kisah masyhur antara Umar bin Khatthab ra dengan ibu penanak batu menjadi gambaran sosok pemimpin dalam Islam yang benar-benar memperhatikan rakyat. Kepeduliannya menjadi gambaran tanggung jawab seorang pemimpin.

 

Islam memang menempatkan posisi pemimpin sebagai perisai. Sebagaimana yang disampaikan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya seorang imam (kepala negara) laksana perisai, rakyat di belakangnya dan dia menjadi pelindung bagi rakyatnya” (HR Bukhari dan Muslim). Maka sudah seharusnya pemimpin tidak membiarkan rakyatnya menderita. Karena pemimpin bertanggung jawab atas rakyat yang dipimpinnya. Pemimpin harus memastikan kebutuhan rakyatnya terpenuhi. Juga menjamin kecukupan produksi dan kelancaran distribusi atas barang-barang yang dikonsumsi sebagai kebutuhan pokoknya.

 

Pemimpin dalam sistem Islam hadir untuk menerapkan syariat Islam secara kaffah. Bukan untuk membuat aturan demi keuntungan pribadi dan golongan. Pemimpin memikul beban, amanah, dan tanggung jawab yang besar. Bahkan Umar bin Abdul Aziz menangis tersedu-sedu seraya memasukkan kepalanya ke dalam dua lututnya dan menangis sesunggukan. Ini.terjadi ketika Umar bin Abdul Aziz diangkat menjadi Khalifah pada dinasti Bani Umayyah, di hari Jum’at tanggal 10 Shafar tahun 99 Hijriyah, menggantikan khalifah sebelumnya, Sulaiman bin Abdul Malik. Di dalam tangisnya, Umar mengucapkan kalimat, “Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raji’uun”, sambil berujar, “Demi Allah, sungguh aku tidak meminta urusan ini sedikitpun, baik dengan sembunyi-sembunyi maupun dengan terang-terangan.”

 

Namun tidak demikian dengan pemimpin di sistem demokrasi saat ini. Alih-alih merasa takut atau sibuk memikirkan nasib rakyat yang berada dalam kondisi ekonomi sulit, justru sibuk menyiapkan diri dalam kontestasi. Di tengah terhimpitnya rakyat dengan efek domino kenaikan BBM, para petinggi partai sibuk mencari pasangan demi maju di bursa capres-cawapres tahun 2024 mendatang.

 

Sebagaimana sinyal yang disampaikan oleh Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto, untuk bisa bekerja sama secara terbuka dalam pemilihan presiden 2024 saat menerima kunjungan Ketua DPP PDI Perjuangan (PDI-P) Puan Maharani pada Minggu (4/9/2022) lalu (nasional.kompas.com, 5/9/2022). Pertemuan antar parpol pemenang pemilu 2019 untuk berpasangan ini menjadi gambaran bahwa kemenangan mereka di tahun 2024 sangat mereka harapkan. Meski elektabilitas tokoh yang dicalonkan jauh berbeda tapi upaya memake up diri demi meraih simpati rakyat akan dilakukan.

 

Inilah realita politik dan pemimpin dalam sistem demokrasi. Keberadaan rakyat hanya dicari demi mendulang suara. Adapun saat rakyat sengsara, kepedulian pun tiada. Bahkan kesulitan rakyat di depan mata saat ini seolah tak nampak. Tiada empati, juga tiada solusi yang ditawarkan. Kesibukan persiapan kontestasi yang masih setahun ke depan justru lebih diutamakan.

 

Realitas tersebut menjadi bukti bahwa sistem demokrasi bukanlah sistem yang berpihak pada rakyat. Rakyat diabaikan. Hanya dicari dan diambil hati saat kampanye tiba. Janji-janji palsu diutarakan tanpa pernah merasa harus ditunaikan. Sebaliknya kepentingan segelintir rakyat pemegang modal lah yang diupayakan sebagai bentuk balas budi atas modal yang diberikan saat kampanye digelar. Kebijakan dan aturan yang ditetapkan menjadi jalan kemudahan urusan para pemilik modal dan kapital. Sedangkan rakyat hanya bisa gigit jari.

 

Sayangnya kebobrokan sistem demokrasi ini tak jua disadari. Banyak pihak yang masih mengelu-bukannya dan menganggap sebagai sistem terbaik. Padahal sistem demokrasi yang dijalankan tidak pernah terbukti menyejahterakan rakyat. Justru kerusakan yang terjadi makin menjadi. Korupsi kian tak terhenti, kerusakan moral kian menjadi, rakyat makin terpuruk dan tercekik dalam himpitan ekonomi yang sulit. Pemimpin yang tampil pun lebih memilih selamat dan terus menjabat daripada mencari solusi masalah rakyat. Lantas layakkah sistem ini dipertahankan? Ingat, pemimpin yang dicari adalah pemimpin yang mengajak taat, menerapkan syariat, peduli pada rakyat dan bukan sekedar menjabat. Wallahua’lam bisshowab. [LM/ry/ry].

Please follow and like us:

Tentang Penulis