Politik Itu Beridentitas?
Oleh Hanif Kristianto
(Analis Politik-Media di Pusat Kajian dan Analisis Data)
LenSa Media News – Gempita Pemilu 2024 sudah mulai dibicarakan bahkan promosi untuk mendapatkan panggung demokrasi. Tak pelak, muncul penolakan pada politik identitas. Hal ini sering ditujukan kepada ‘identitas politik Islam’. Politik identitas ditengarai sebagai pengacau dan pembuat gaduh pada pemilu. Kelompok agamis dihadap-hadapkan dengan kelompok nasionalis dan sekular. Merekalah yang menolak simbol ‘Islam’ dalam politik. Islam dianggap terlalu arogan seolah benar sendiri dan ingin menang sebagai mayoritas.
Jika mengamati lebih jauh, apakah politik yang ada saat ini tidak beridentitas? Faktanya identitas politik yang ada begitu jelas. Terdapat banyak identitas politik yang memiliki kepentingan masing-masing berdasarkan keyakinan. Di dunia dikenal politik demokrasi yang mengusung jargon dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Politik demokrasi sejalan dengan ideologi kapitalisme. Negara yang mengambil demokrasi berbentuk republik. Seperti Indonesia.
Khazanah Islam juga mengenal fiqh siyasah. Politik Islam disematkan sebagai pengurusan umat baik dalam maupun luar negeri dengan syariah Islam. Politik Islam juga bermakna mengurusi urusan dunia dan menjaga agama. Karena itu, konsep politik Islam memiliki amanat agung untuk menerapkan syariah kaffah dalam institusi negara (khilafah).
Adapun sosialis-komunisme, cenderung bersikap politik otoriter. Negara memegang penuh kendali atas rakyatnya. Ketundukan rakyat mutlak tanpa bisa bersuara ataupun melakukan perlawanan. Politik dalam ideologi sosialis-komunis sering dibenci oleh manusia secara umum. Hal ini karena tidak manusiawi dan mengekang kebebasan umat manusia.
Wajar Politik Identintas?
Politik memiliki identitas itu benar adanya. Politik tidak ada yang netral, kecuali politik itu menolak identitas politik lain masuk. Sebagaimana saat ini, politik demokrasi menolak campur tangan agama mengatur politik. Ini mengonfirmasi sikap sekularisme dalam bernegara yang menolak agama mengatur kehidupan.
Islam berbeda dengan agama lainnya. Sikap politik Islam yang unik memunculkan identitas yang berbeda. Keunikan Islam inilah yang menjadi momok politik demokrasi saat ini. Hal ini dikhawatirkan Islam akan menggusur demokrasi di negeri mayoritas muslim. Pun demikian, belum banyak umat Islam yang memahami Fiqh Siyasah secara utuh. Akibatnya, umat dan ulama Islam sering terjebak dalam pragmatisme politik demokrasi.
Berapa banyak umat dan ulama yang mendukung politisi tertentu pada pilpres lalu. Akhirnya dikecewakan karena tatkala mencul pendzaliman kepada umat, yang didukung itu tak membela. Umat Islam hanya dimanfaatkan pendulangan suara. Setelah itu ditinggalkan tanpa meninggalkan jejak.
Sementara itu, politisi demokrasi sering berubah-ubah identitasnya. Tatkala bertemu pemuka agama, mereka menyesuaikan kostumnya. Tatkala bertemu dengan kelompok masyarakat bawah, seolah peduli dengan kesusahan mereka. Sayangnya, tatkala ada aturan dan UU yang menyengsarakan rakyat, seringnya tanpa pembelaan. Seolah politisi demokrasi kalah dengan suara materi yang melebihi suara Tuhan.
Jadi sebenarnya, siapa pun boleh menunjukkan identitas politiknya. Yang menjadi penilaian ialah, apakah identitas politik itu berkesesuaian dengan fitrah manusia, menentramkan jiwa, dan mencerdaskan. Bahkan identitas itu berlandaskan pada aqidah yang sahih yakni Islam. Maka, jangan kubur hidup-hidup politik identitas umat Islam di negeri ini.
Pelajaran Penting
Jika maksud dari pelarangan politik identitas itu diarahkan pada Islam, maka ini jelas salah kaprah. Islam jelas memiliki seperangkat aturan yang jelas. Mengatur aspek ibadah ritual, mengatur manusia dengan dirinya sendiri, hingga urusan hukum, politik, dan kehidupan.
Kenapa terjadi ketakutan pada politik identitas Islam di Indonesia. Ini bisa dianalisis sebagai berikut:
Pertama, politik sekular yang menjalar di negeri ini menjadi penyakit yang sering menolak agama dibawa ke ruang publik. Kalaupun mengakomodasi syariah sebatas kepentingan sesaat dan itu dalam ruang yang sempit.
Kedua, muncul kebencian kepada Islam yang memunculkan identitas politik. Hal ini karena terbongkarnya sikap jahat orang yang mengkhianati umat. bahkan terbukti seringnya pengabaian urusan rakyat. Alhasil rakyat sering terlunta-lunta. Beberapa kelompok Islam pun membongkar makar politik mereka yang telah berkongsi dengan oligarki.
Ketiga, ketidakpahaman kepada politik Islam yang agung. Islam seolah dianggap cukup mengurusi aspek ibadah ritual. Padahal Islam luas mengatur seluruh aspek kehidupan. Begitu pula orang-orang yang menjadi pengobar perang opini terhadap Islam.
Keempat, kondisi ini mengonfirmasi ketakutan orang-orang yang selama ini berbuat curang. Mereka paham tidakan curang itu menciderai hukum dan kemanusiaan. Karenanya, mereka ingin menyelamatkan diri bersama kelompoknya.
Mengambil pelajaran penting dari ramai politik identitas yang menyasar Islam ini, sudah saatnya ada perubahan aktif. Perubahan dari aspirasi umat yang merindukan Islam. Ini juga menjadi momentum bahwa Islam mampu membawa keselamatan dan solusi kehidupan. Saatnya Islam memimpin dunia dan berjaya di pentas kehidupan.[] (lm/ln)