Dipakaikan Kerudung Dianggap Merundung, Nasib Generasi Makin Mendung

 

Oleh: Umi Diwanti

 

LenSaMediaNews.com – “Ya kalau pasal itu perundungan. Nanti hukum bullying-nya, nanti kita lihat seperti apa.” Ungkap ketua Ombudsman RI (ORI) DIY.

 

Demikianlah pernyataan ORI terkait kasus seorang anak perempuan yang tidak mau memakai kerudung saat mengikuti Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS). Kemudian si anak dipanggil guru BP dinasihati untuk memakai kerudung, namun si anak menyatakan belum mau. Kemudian oleh si guru anak tersebut dipakaikan kerudung. Yang kemudian dikatakan setelah itu si anak jadi depresi dan mengadukan masalah tersebut kepada Ombudsman RI DIY. (www.detik.com, 29/7/22)

 

Menurut berita lanjutan dari kejadian itu pihak ORI DIY memanggil kepala sekolah dan ka memanggil juga guru BP, guru agama dan wali kelas untuk diperiksa. Jika terbukti benar telah melakukan pemaksaan memakaikan kerudung ke si murid maka guru terancam Undang-undang tentang Bullying. Kejadian ini sangat memperhatikan, karena setidaknya menciptakan dua ketidakwajaran. 

 

Pertama, menutup aurat memanglah sebuah kewajiban bagi muslimah yang baligh. Usia siswa ini 16 tahun yang menurut ilmu fiqh pasti sudah baligh. Harusnya si anak bahkan udah paham dan melakukan dengan kesadaran. Ketika tidak melaksanakan maka sudah menjadi keharusan bagi yang menyaksikan untuk melakukan amar makruf nahi mungkar. 

 

Sebagai anak, orang tua bahkan negara harusnya mendukung sikap guru yang sudah peduli terhadap muridnya ini. Bahkan harusnya orang tua berterima kasih dan negara harusnya justru bekerja sama dengan pihak sekolah dan orang tua untuk menyadarkan anak ini jika belum sadar kan kewajibannya menutup aurat. Bukan justru membela anak dan menuding guru melakukan perundungan. 

 

Jika hal yang terbalik ini terus dilakukan anak akan semakin besar kepala dan sulit diarahkan. Karena nanti setiap ada arahan yang mereka enggan, dengan mudah mereka menolak bahkan melaporkan hal itu sebagai sebuah pemaksaan. Jika sudah begitu siapa lagi yang bisa mengarahkan anak? Apakah dibiarkan saja apa mau mereka yang penting mereka suka meskipun itu tercela dan dosa? 

 

Ketika guru sebagai orang tua kedua yang biasa sangat diandalkan dalam mengarahkan anak pun tak lagi memiliki daya. Maka bisa dipastikan nasib generasi muda akan semakin mendung.

 

Kedua, jika perasaan atau kondisi anak yang katanya depresi yang dijadikan bukti terjadinya pelanggaran hak asasi, maka jelas ini juga keliru dan tebang pilih. Misalnya ketika masyarakat secara sepihak dipaksa harus bayar pajak, harus suntik vaksin, tak sedikit dari mereka yang merasa sangat terpaksa bahkan depresi tapi tidak pernah dikatakan ada pelanggaran-pelanggaran hak asasi?

 

Inilah kenyataan yang terjadi dalam sistem kehidupan saat ini. Di satu sisi kebebasan digaungkan sedemikian rupa. Hak asasi dilindungi mati-matian. Namun di sisi lain terlebih saat umat Islam ingin menjalankan perintah agamanya secara totalitas, kebebasan entah di mana. Seperti halnya kasus ini, sang murid dibela untuk tidak menutup aurat dengan alasan hak asasi. Tapi banyak kasus muslimah yang dipermasalahkan ketika saat bekerja/sekolah dengan memakai jilbab (gamis) syar’i.

 

Demikianlah betapa sebenarnya sistem kehidupan saat ini tidak benar-benar menjamin hak asasi. Juga tidak benar-benar memberikan kebebasan. Jelas terlihat diskriminasi khususnya terhadap ajaran Islam. Padahal ajaran Islam lah satu-satunya yang bisa diandalkan dalam mencetak generasi berkualitas.

 

Penerapan Islam secara totalitas sejak masa Rasulullah diteruskan oleh para Khalifah benar-benar terbukti menghasilkan generasi cemerlang. Diantaranya seorang Muhammad al-Fatih yang mampu menjadi penakluk negara adidaya di usia belia. Imam Syafi’i yang telah menjadi guru besar sebelum usia baligh. Pun demikian seorang Ibnu Sina mampu menemukan masterpiece ilmu kedokteran yang jadi rujukan dunia juga di usia muda.

 

Semua adalah hasil kerjasama orang tua, masyarakat dan negara yang menjalankan ajaran Islam dengan jelas dan tegas. Yakni kehidupan yang tidak pernah ada kebebasan karena sesungguhnya manusia adalah makhluk yang wajib taat pada semua aturan penciptanya. Kehidupan yang mengajarkan pada anak untuk menunaikan hak-hak Allah. Bukan sebaliknya seperti saat ini di mana anak diajari kebebasan tanpa batas. Diajari untuk mementingkan hak asasi di atas aturan Ilahi. Hasilnya terbukti generasi jauh dari prestasi, kerusakan di sana-sini.

 

Mari kita tentukan nasib generasi masa depan dengan menentukan aturan kehidupan yang diadopsi. Mau terus melanjutkan sistem sekuler kapitalis yang secara perlahan tapi pasti membuat nasib generasi makin mendung? Atau kembali pada ajaran Islam yang terperinci dan telah terbukti mampu mewujudkan generasi cemerlang?

 

Please follow and like us:

Tentang Penulis