Menyoal Polemik Bansos Salah Sasaran
Oleh : Intan Ayu
(Ibu Rumah Tangga)
Lensa Media News – Bantuan sosial atau bansos yang semestinya jadi jaring pengaman masyarakat kala pandemi merebak, banyak yang tak tepat sasaran. Ini diungkapkan Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) dalam ikhtisar hasil pemeriksaan semester II tahun 2021. Tak cuma itu, Kartu Prakerja yang menjadi program stimulus sekaligus pelatihan, juga terindikasi tak tepat sasaran.
Ketua BPK Isma Yatun menjelaskan, hasil pemeriksaan prioritas nasional terkait pembangunan sumber daya manusia menemukan masalah program Kartu Prakerja. Bantuan program stimulus plus insentif terhadap 119.494 peserta dengan nilai Rp 289,85 miliar, terindikasi tidak tepat sasaran. (kumparan.com)
Fakta lainnya, Dilansir dari KOMPAS.TV, (29/5/22), Badan Pemeriksa Keuangan atau BPK mengungkap ada tiga jenis bantuan sosial di era Pemerintahan Presiden Joko Widodo yang tidak tepat sasaran dalam penyalurannya. Bahkan, salah sasarannya mencapai Rp 6,93 triliun. Hal ini tertuang dalam laporan hasil pemeriksaan semester dua BPK tahun 2021.
Dalam laporannya itu disebutkan penetapan dan penyaluran bansos Program Keluarga Harapan atau PKH, Sembako, Bantuan Pangan Non-Tunai atau BPNT serta Bantuan Sosial Tunai atau BST tidak sesuai ketentuan. Hal ini pun telah menuai potensi kerugian dalam negeri.
Temuan BPK terkait dana penyaluran bansos yang tidak tepat sasaran ini tentunya harus segera ditindaklanjuti dengan serius. Pasalnya, diperlukan kesamaan data, transparansi, dan berkesinambungan dalam penyaluran bansos agar bisa tepat sasaran.
Bantuan sosial adalah salah satu solusi yang ditawarkan pemerintah. Tapi alih-alih menjadi solusi yang menuntaskan, ternyata penyaluran bansos tak tepat sasaran. Bantuan ini pada faktanya bisa diakses oleh siapapun, termasuk yang tak layak mendapatkannya.
Jika diteliti, penyebab bansos salah sasaran diantaranya terdapat beberapa faktor. Faktor pertama, verifikasi dan validasi data kemiskinan atau data terpadu kesejahteraan sosial yang tidak berjalan dengan baik sehingga banyak warga mampu masih terdata. Pembaruan data di tingkat pemerintah daerah/desa juga tidak berjalan dengan baik.
Selain itu, adanya konflik regulasi dan minim sinkronisasi antara pemangku kepentingan, yaitu Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Desa, Kementerian Sosial, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Keuangan, Pemerintah Provinsi/Kabupaten, dan sebagainya, dalam penyaluran bantuan sosial.
Yang lebih miris lagi, dampak dari banyaknya pintu untuk pendataan, muncul pula pemburu rente dalam penyaluran bansos atau politisasi bantuan sosial. Dari sini tentu dibutuhkan keseriusan pemerintah untuk melakukan pengawasan yang ketat dan memastikan agar bansos tersebut sampai ke tangan orang yang tepat. Tapi fakta berkata lain. Faktanya negara tidak bisa memastikan bantuan telah sampai kepada rakyat ataukah tidak, juga tidak bisa mengawasi apakah bansos tepat sasaran ataukah tidak.
Fakta praktik adanya penyelewengan dana bansos oleh para pemburu rente ini disebabkan nihilnya kesadaran para pelaku akan hubungannya dengan Sang Pencipta. Di mana rakyat tidak diurusi dengan benar, malah justru dijadikan bahan eksploitasi untuk meraih cuan keuntungan.
Maka, sistem rusak ini nyatanya telah gagal dalam mengurusi urusan umat. Sistem ini pun memberikan peluang besar kepada para penguasa, para kapital (pemilik modal) dan pemangku kebijakan untuk memperkaya diri sendiri tanpa mempedulikan keadaan rakyat.
Karenanya, negeri ini dengan sistem kapitalis yang diusungnya tidak mampu menjadi solusi atas segala problematika negeri. Solusi tuntas untuk mengatasi segala problematika negeri ini tiada lain adalah dengan menerapkan sistem Islam secara kaffah (menyeluruh) dalam sebuah institusi negara khilafah.
Dalam naungan Khilafah, Islam memberi tanggung jawab kepada penguasa untuk memenuhi semua kebutuhan rakyatnya. Pun ketika pandemi terjadi. Islam tidak akan membiarkan rakyatnya hidup dalam kemiskinan dan tidak mendapatkan haknya. Seorang pemimpin bertanggungjawab penuh atas segala urusan rakyatnya. Karena sejatinya pemimpin adalah sebagai pelayan umat. Kewajibannya adalah untuk melayani rakyatnya.
Islam tidak membenarkan jika seorang pemimpin membuat kebijakan yang mengakibatkan kesengsaraan bagi rakyatnya. Tidak terpenuhinya kebutuhan dasar hingga rakyat kelaparan adalah dampak dari kebijakan yang tidak pro pada rakyat. Sehingga, banyak perbuatan yang terlarang dilakukan rakyat demi memenuhi kebutuhan dasar mereka, seperti mencuri sesuatu yang bukan haknya.
Semua itu tidak lain merupakan kegagalan sistem negara saat ini. Di mana para pemimpinnya tidak menerapkan aturan Islam secara menyeluruh yang dapat mengatur seluruh aspek kehidupan. Melainkan membuat aturan sendiri hingga aturannya sering berbenturan dengan fitrah manusia. Padahal, manusia adalah makhluk yang lemah dan terbatas.
Dengan demikian, sudah semestinya umat Islam kembali merujuk kepada satu satunya sistem yang mampu memberikan kesejahteraan bagi seluruh alam yaitu sistem Islam dalam negara Khilafah. Dan umat pun siap memperjuangkannya dengan istiqomah.
Wallahu’alam
[LM]