Oleh : Mimin Diya

 

Lensa Media News – Mobilitas publik dalam menjalankan aktivitas harian maupun perekonomian tentu membutuhkan sarana transportasi. Mirisnya, di tengah tekanan ekonomi semasa pandemi masyarakat dihadapkan pada kenaikan harga berbagai macam komoditas bahan pokok hingga bahan bakar minyak dan gas. Tepat 1 April 2022 menjelang Ramadan, pemerintah resmi menaikkan harga pertamax menyesuaikan harga pasar.

Sebagai bahan bakar non subsidi dengan konsumen kalangan menengah ke atas, kenaikan harga pertamax dianggap tidak akan membebani. Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa hal tersebut tetap berpengaruh karena sebagian pos pertamini adalah pertamax. Selain itu pasokan premium sulit didapatkan juga pertalite yang terbatas dan kerap habis.

Menurut data PT. Pertamina (Persero), pada 2030 kebutuhan BBM dalam negeri bakal naik 3% menjadi 1,5 juta barel per hari. Semua ditargetkan akan terpenuhi melalui produksi BBM dari 700 ribu menjadi 1,2 juta barel per hari. Namun, sebenarnya negeri ini dibayangi rasa khawatir bahwa produksi migas dihitung hanya cukup hingga 9,5 tahun ke depan (CNBC, 10/1/2022).

Kanaikan BBM dianalisa sebagai dampak dari konflik Rusia-Ukraina serta kegagalan infrastruktur produksi di negara penghasil minyak mentah. Hal ini memicu lonjakan harga minyak mentah dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah menetapkan harga minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price /ICP) pada Maret 2022 sebesar US$ 113,50 per barel, yakni naik sebesar US$ 17,78 per barel dari US$ 95,72 per barel pada bulan sebelumnya (CNBC, 6/4/2022).

Hal ini dianggap sebagai peningkatan nilai ekspor yang besar bagi negara. Satu sisi, adanya kenaikan BBM juga dinilai sebagai upaya penyelamatan pertamina dari beban biaya produksi dan pemenuhan pasokan BBM dalam negeri dengan harga pasar bebas dunia. Kondisi ini sulit dihindari lantaran dikendalikan oleh kebijakan ekonomi global yang lahir dari sistem kapitalistik. Dampaknya sebagian besar harga produk bisa menanjak mahal.

Padahal jika ditelusuri akan didapatkan bahwa sumber daya alam negara ini melimpah ruah, apalagi sumber cadangan energi minyak dan gas. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, cadangan minyak bumi Indonesia sebesar 4,17 miliar barel pada 2020. Cadangan minyak bumi ini meningkat 10,6% dari 2019 (CNBC, 18/1/2022). Bahkan kemungkinan besar cadangan migas jauh lebih besar berasal dari kilang yang dikuasai oleh korporasi asing.

Beberapa perusaan asing penguasa migas antara lain : Chevron (asal AS) eksplorasi 11,69 miliar barel, Total asal Prancis eksplorasi 12,5 triliun kaki kubik, ConocoPhillips asal AS eksplorasi blok 450 juta kaki kubik per hari, British Petroleum eksplorasi 14,4 triliun kaki kubik, ExxonMobil eksplorasi 1,4 miliar barel minyak (Merdeka, 2012). Realitas ini menunjukkan bahwa betapa besar cadangan energi Indonesia.

Akan tetapi, semua tidak dalam genggaman negara secara langsung. Hajat yang terpenuhi adalah kantong-kantong para korporasi atau 1% kaum elit yang menguasai kekayaan dari 99% rakyat. Semua ini legal dalam atmosfer sistem kapitalis dengan prinsip pemilik modal akan berkuasa. Pada akhirnya mereka berhasil menguasai pos kepemilikan umum yang seharusnya dikelola secara mandiri oleh negara untuk memenuhi kebutuhan rakyat.

Kondisi kenaikan BBM maupun bahan pokok lainnya akan tetap berlangsung selama sistem kapitalis saat ini tetap dipertahankan. Apabila bangsa dan negara menghendaki adanya perubahan, maka tidak ada cara lain kecuali dengan berpaling dari sistem kapitalis dan menerapkan sistem Islam.

Dalam masalah pengelolaan kepemilikan umum seperti halnya migas Islam telah jelas mengatur larangan untuk melakukan privatisasi. Rasulullah saw. bersabda :
اَلْمُسْلِمُوْنَ شُرَكَاءُ في ثلَاَثٍ فِي الْكَلَإِ وَالْماَءِ وَالنَّارِ
Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad)

Wallahu’alam bishawab.

 

[hw/LM]

Please follow and like us:

Tentang Penulis