PPN Naik, Rakyat Semakin Dipalak
Oleh: Sarinah A.
(Pegiat Pena Banua)
Lensa Media News – Pada Jum’at (1/4/2022), Pemerintah resmi menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10 persen menjadi 11 persen. Kebijakan ini tertuang dalam pasal 7 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (Kompas.com, 1/4/2022).
PPN adalah pungutan pemerintah yang dibebankan atas setiap transaksi jual-beli barang maupun jasa yang dilakukan oleh wajib pajak pribadi atau wajib pajak badan yang telah menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP).
Kenaikan PPN ini akan berdampak pada meningkatnya harga barang dan jasa. Adapun pihak yang dikenakan PPN adalah konsumen di tingkat akhir atau pembeli.
Kementerian Keuangan menyatakan bahwa kenaikan PPN ditujukan untuk memperkuat ekonomi Indonesia dalam jangka panjang dan membantu membiayai APBN, khususnya dalam program pemulihan ekonomi nasional. Lebih lanjut, Menteri Keuangan menekankan bahwa pajak merupakan gotong royong dari rakyat yang relatif mampu secara ekonomi.
Walaupun kenaikannya hanya satu persen, sejatinya tetap menjadi beban bagi masyarakat. Apalagi di tengah kondisi ekonomi masyarakat yang belum pulih dan naiknya harga-harga kebutuhan pokok.
Inilah sistem ekonomi yang dihasilkan oleh kapitalisme. Negara tidak akan pernah mampu berperan sebagai pelayan masyarakat dalam menjamin kebutuhan mereka. Sebaliknya, negara tak ubahnya seperti pemalak yang memaksa rakyat untuk membayar pajak.
Walaupun pemerintah berdalih kenaikan pajak adalah untuk rakyat, namun sejatinya tidak semua rakyat merasakan dampaknya. Bahkan pelayanan kesehatan yang menjadi dasar kebutuhan masyarakat juga harus dicicil setiap bulannya melalui BPJS agar bisa dinikmati.
Hal ini berbeda dengan sistem ekonomi islam. Pajak adalah cara terakhir untuk mendapatkan sumber pendapatan negara ketika negara sangat membutuhkan dana namun kas Baitul mal sedang kosong. Dalam Islam, pajak hanya ditarik dari orang-orang kaya saja. Pajak bukanlah pendapatan tetap negara. Adapun sumber pendapatan negara dalam Islam berasal dari pengelolaan harta milik umum seperti kekayaan sumber daya alam. Juga dari zakat. Ketika keduanya tidak mencukupi, barulah negara bisa menarik pajak dari orang-orang kaya.
Inilah sistem ekonomi Islam. Jauh berbeda dengan sistem ekonomi kapitalisme hari ini. Dalam sistem Islam, negara benar-benar menjadi pelayan umat, bukan menjadi pemalak seperti hari ini. Semua ini akan terwujud jika kita menerapkan Islam dalam semua aspek kehidupan.
Wallahu’alam bishawwab
[lnr/LM]