Pajak Naik di Tengah Pandemi, Pemulihan Ekonomi Hanya Mimpi
Oleh: Elly Waluyo
(Anggota Aliansi Penulis Rindu Islam)
Lensa Media News – Di tengah-tengah harga kebutuhan yang merangkak naik, pemerintah memutuskan untuk tidak akan menunda kenaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10% menjadi 11% mulai 1 April 2022 meskipun diiringi penolakan dari sejumlah pihak. Faisal Basri yang merupakan seorang ekonom senior menolak kebijakan pemberlakuan kenaikkan pajak tersebut dengan mempertanyakan letak keadilan dalam alasan yang diutarakan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan jajarannya terkait keputusan kenaikan pajak PPN. “Penurunan pajak perusahaan dari 25 ke 22%, tadinya direncanakan ke 20%, tapi akhirnya dibatalkan. Sementara untuk rakyat itu dinaikan. Rasa keadilannya yang utamanya di situ. Ini kan gak peduli rakyat kecil atau rakyat kaya. Semua bayar PPN sama.” Demikian ungkapan penolakan yang disampaikan Faisal Basri. Selain itu menurut Faisal tak bisa dibandingkan dengan negara G20. PPN Indonesia termasuk yang paling rendah, namun pendapatan Negara Indonesia lebih rendah dibandingkan dengan negara G20 yang lain bahkan lebih rendah dari negara Malaysia. (www.cnbcindonesia.com : 25 Maret 2022).
Menteri keuangan Sri Mulyani juga mengungkapkan alasan lain pemerintah menaikkan PPN bahwa pajak tersebut untuk pemulihan ekonomi, menyehatkan APBN dan dipastikan pajak tersebut kembali kepada rakyat berupa insentif, subsidi maupun bantuan sosial. Menkeu juga menandaskan bahwa ini merupakan gotong royong masyarakat mampu untuk mempertebal bantalan sosial karena banyak masyarakat yang tidak bayar pajak mendapatkan bantuan dari pemerintah (www.jawapos.com : 22 Maret 2022).
Tarif PPN diberlakukan pada semua barang dan jasa kecuali barang pokok, pendidikan, kesehatan dan lain-lain, sesuai dengan undang-undang (UU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Sedangkan untuk peralatan yang sering digunakan oleh masyarakat namun bukan termasuk barang pokok akan diberlakukan tarif baru seperti alat tulis, mie instan, pulsa, pakaian dan lain-lain. Meskipun demikian menurut Ekonom Core Pitter Abdullah, kenaikan PPN di tengah pemulihan ekonomi akan semakin meningkatkan tekanan inflasi yang saat ini dalam trend meningkat yang mengakibatkan menurunnya daya beli masyarakat. Pernyataan senada diungkapkan oleh Ketua Badan Anggaran Said Abdullah yang meminta pengkajian ulang terhadap kebijakan menaikkan PPN pada barang-barang dan jasa yang sering dikonsumsi masyarakat yang saat ini harganya sudah melambung, karena untuk mengganti kurangnya penerimaan PPN pemerintah dapat menggunakan Pasal 7 ayat 3 UU HPP yaitu menaikkan PPN pada barang dan jasa lainnya. Anggota Komisi XI Misbakhun sejak awal juga mengingatkan bahwa kebijakan tersebut akan meningkatkan beban masyarakat disaat pemulihan ekonomi akibat pandemi (www.cnbcindonesia.com : 15 Maret 2022).
Segala hal yang tidak dijalankan sesuai syariat akan berdampak buruk bagi seluruh aspek kehidupan, karena segala aturan yang telah dibuat oleh Sang Maha Pengatur Allah SWT tentulah sempurna dalam mengatur setiap lini kehidupan, dan tak ada yang lebih tahu kebutuhan makhluknya selain Sang Pencipta. Aturan yang dibuat oleh manusia yang merupakan Makhluk terbatas, lemah dan membutuhkan yang lain, pastilah aturan itu lemah, terbatas, sarat dengan kepentingan nafsu belaka dan mudah diubah sesuai pesanan. Demikian pula yang terjadi pada aturan kapitalis, hasil ide dan gagasan manusia yang terbatas ini. Sehingga sampai saat ini, problematika umat tak kunjung ada habisnya. Ditengah pandemi yang mendera seluruh warga negaranya, pemerintah dengan tega menaikkan pajak seolah tak ada lagi sumber pendapatan lainnya selain menaikkan prosentase pajak, dan seolah tak memiliki kekayaan alam dalam negaranya yang dapat diolah dan dijadikan sumber pendapatan. Komersialisme untuk memuaskan nafsu para kapital dalam sistem kapitalis telah meluluh lantakkan kekayaan alam negeri ini. Kekayaan yang begitu besar seharusnya dapat digunakan memenuhi kebutuhan hidup seluruh rakyatnya, bukan hanya segelintir orang apalagi dikuasakan kepada perorangan. Negara kapitalis telah lebih memilih jalan riba’ melalui pinjaman pada bank Dunia dan membebankan pembayaran pinjaman itu pada rakyatnya yang memiliki ekonomi yang kembang kempis.
Dalam Sistem Islam yang sempurna, mendudukkan penguasa sebagai junnah (pelindung) dan ra’in (pengurus rakyatnya). Kekayaan alam dalam sistem Islam merupakan sumber pendapatan negara dan milik seluruh rakyat, tidak boleh dijual atau dikuasakan pada individu. Sebagaimana sabda Rasulullah saw bahwa, “Kaum muslimin berserikat dalam 3 perkara yaitu air, rumput, dan api.” (HR Abu Daud). Hasil dari pengolahan kekayaan alam oleh negara secara langsung, masuk kedalam Baitul Mal pada pos kepemilikan umum dan digunakan untuk membiayai kebutuhan pokok rakyatnya seperti pendidikan, kesehatan, infrastruktur sehingga dapat diakses secara gratis dan memiliki kualitas yang mumpuni. Dalam sistem Islam terdapat pula pajak yang hanya dibebankan pada warga yang memiliki ekonomi lebih, disaat kas dalam Baitul Mal mengalami kekosongan saja. Jika Baitul Mal sudah terisi penuh maka pajak itupun akan dihentikan. Negara juga mengambil alih pengolahan tanah yang dianggurkan oleh pemiliknya selama 2 tahun dan mempekerjakan warga negaranya untuk mengolah tanah tersebut. sehingga tak satupun warga negara yang tidak memiliki pekerjaan. Peri’ayahan terus dilakukan oleh negara sebagai bentuk perlindungan negara terhadap warga negaranya dari segala hal yang dapat membahayakan akidah dan yang dapat mendorong pada perbuatan maksiat seperti korupsi, kriminalitas, dan perbuatan lainnya yang menimbulkan dosa. Sehingga terciptalah atmosfir kesejahteraan, ketentraman dan ketenangan dalam segala aspek kehidupan dapat diraih.
[ra/LM]