Cabut Subsidi Minyak, kepada Siapa Pemerintah Berpihak?

Oleh: Hanah Ummu Isma

 

Lensa Media News – Kementerian Perdagangan menetapkan batas harga bahan baku minyak goreng, dengan harapan bisa terjangkau oleh produsen. Kebijakan ini juga didukung oleh kewajiban pemasokan bahan baku ke dalam negeri dari eksportir bahan baku minyak goreng.

Kebijakan ini baru disampaikan Menteri Perdagangan (Mendag) Muhammad Lutfi merespon harga minyak goreng yang terhitung tinggi. Sebelumnya, ia juga menetapkan minyak goreng satu harga Rp.14.000 di toko ritel modern pada pekan lalu.

Namun setelah mengevaluasi kebijakan itu, Mendag Lutfi mengeluarkan kembali kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) sebesar 20 persen bagi eksportir bahan baku minyak goreng. Termasuk juga Domestic Price Obligation (DPO) untuk harga bahan baku minyak goreng di dalam negeri.

Diketahui, pekan lalu pemerintah juga menggelontorkan subsidi dana Rp 7,6 triliun dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) digunakan untuk enam bulan dengan skemanya selisih harga akan dibayarkan kepada produsen minyak goreng sebagai pengganti selisih harga keekonomian. Dalihnya untuk membuat harga mekanisme pasar menjadi stabil.

Sehingga rincian Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng terbagi menjadi tiga: Minyak goreng curah dipatok Rp11.500 per liter, minyak goreng kemasan sederhana sebesar Rp13.500 per liter, dan minyak goreng kemasan premium Rp14.000 per liter.

Direktur Eksekutif Indef, Tauhid Ahmad menilai kebijakan DMO kurang tepat. Masalah utamanya bukan pada suplai CPO, karena harga CPO yang naik dan kenaikan ini dibentuk oleh mekanisme pasar. Kebijakan DMO dan DPO sangat berpotensi menekan harga TBS. Akibatnya kesejahteraan petani akan menurun.

Direktur Eksekutif Pam Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI), Tungkot Sipayung mengungkapkan kebijakan ini bisa menimbulkan penyelewengan berupa penyelundupan keluar negeri jika harga terlampau murah. Di lain sisi untuk menyelamatkan konsumsi minyak goreng namun mengorbankan petani kelapa sawit.

Dengan kata lain kebijakan ini sarat akan kepentingan para kapital. Karena dengan penurunan CPO dan DMO 20% akan menguntungkan perusahaan. Perusahaan minyak goreng akan mendapatkan bahan baku murah, 80% hasil produksinya bisa diekspor ke luar negeri. Begitulah watak penguasa dalam sistem kapitalisme.

Seharusnya mereka mengatur urusan rakyat bukan malah mendahulukan kepentingan para korporasi. Untuk memenuhi kebutuhan pokok masyarakat, Islam punya pengaturan yang jelas dan khas.

Pertama, terkait produksi negara akan menjaga pasokan dalam negeri. Negara membuka akses lahan yang sama bagi semua rakyat dalam memaksimalkan produksi lahan. Tujuannya untuk mendukung para petani melalui modal, edukasi dan pelatihan serta sarana produksi dan infrastruktur penunjang.

Kedua, negara akan menciptakan pasar yang sehat dan kondusif, mengawasi rantai tataniaga dan menghilangkan distorsi pasar. Ketiga, negara mengawasi penentuan harga harus mengikuti mekanisme pasar. Dalam sistem Islam negara wajib menjalankan politik perdagangan luar negeri secara mandiri.

Jadi Islam wajib mengatur perdagangan antar luar negeri baik oleh individu maupun atas nama negara. Maka bisa dipastikan dengan kebijakan baru ini, pemerintah mencukupkan dengan penetapan HET dan memaksa para produsen sawit agar menjual 20% sawit untuk produksi minyak dalam negeri. Bisakah menjadi solusi ? tentu sudah bisa terjawab.

Wallahu ‘alam bish shawab.

 

[ln/LM]

Please follow and like us:

Tentang Penulis