Harga Minyak Goreng di Dapur Kita, Ditentukan oleh Dunia

Oleh: Rery Kurniawati Danu Iswanto

(Praktisi Pendidikan)

 

Lensa Media News – Adakah yang belum menyadari jika harga minyak goreng naik tinggi sekali? Bagi ibu-ibu yang jarang belanja kebutuhan dapur, bisa jadi belum tahu jika beberapa minggu ini harga minyak goreng naik. Atau bagi ibu-ibu yang jika belanja tidak memperhatikan harga, hanya mengambil barang, bayar, dan selesai urusan belanja, mungkin juga tidak menyadari kenaikan harga ini. Fyi, terjadi kenaikan harga yang sangat tinggi yaitu Rp. 17.400 per liter. Bahkan di beberapa daerah seperti Papua dan Gorontalo mencapai Rp.18.550 – Rp.20.150 per liter (Cnnindonesia.com, 27/10/2021).

Jika dicermati, urusan harga minyak goreng ini ternyata tidak sesederhana hitungan belanja dapur saja. Minyak berbahan sawit adalah komoditas yang sedang dibutuhkan oleh banyak negara. Ada negara-negara di Eropa yang sedang melirik minyak dari non fosil atau energi terbarukan. Ada India yang kebutuhan produksi pangan di dalam negerinya sangat tergantung dengan minyak. Dan tidak kalah banyaknya kebutuhan minyak sawit di negara China dan Pakistan yang selalu menjadi negara tujuan ekspor minyak Indonesia. Bahkan Amerika dan Malaysia juga tujuan ekspor sawit Indonesia.

Lalu, kenapa harga minyak sawit naik drastis bahkan di negeri produsen itu sendiri? Indonesia sebagai produsen sawit terbesar kedua di dunia harusnya sangat diuntungkan. Tapi nyatanya tidak demikian.

Setidaknya ada dua hal yang berkaitan dengan kenaikan harga minyak goreng. Pertama, sederhananya, produsen lah yang menentukan berapa harga komoditas yang dijualnya setelah dihitung biaya bahan baku, ongkos produksi, distribusi, dsb.. Tapi nyatanya tidak demikian. Ada yang namanya CIF (Cost, Insurance, and Freight) Rotterdam yaitu badan dunia yang menjadi penentu harga CPO (crude palm oil) di pasar bursa komoditas. CPO adalah bahan mentah minyak sawit yang digunakan untuk berbagai macam produksi termasuk minyak goreng. Berdasarkan hal tersebut, jika harga CPO di bursa komoditas naik, maka naik pula harga minyak di dalam negeri.

Kedua, semestinya ketika produksi dalam negeri jumlahnya banyak bahkan surplus untuk kebutuhan sendiri, maka baru kemudian kelebihannya akan diekspor ke luar negeri. Akan tetapi, lagi-lagi tidak demikian adanya. Ketika harga minyak dunia naik dan kebutuhan negara-negara luar meningkat, maka pelaku usaha akan melakukan ekspor untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Dengan kenaikan harga CPO, nilai keuntungan ekspor yang didapat tentunya sangat tinggi. Keuntungan menggiurkan ini juga menyebabkan ekspor minyak sawit naik drastis meski berimbas pada kenaikan harga dan menurunkan pasokan dalam negeri.

Rupanya dalam sistem ekonomi yang dianut saat ini, pemerintah tidak dapat memutuskan atau menetapkan sendiri harga minyak dalam negeri tanpa tergantung dengan bursa komoditas. Jika pemerintah tidak mengatur pembatasan ekspor minyak dengan tegas, atau jika sekadar arahan kepada para pelaku usaha dan korporasi untuk mengutamakan kebutuhan dalam negeri, maka kenaikan harga adalah keniscayaan. Dan akan terus tinggi sepanjang harga CPO di tingkat dunia tidak turun.

Mengapa harga minyak saja ditentukan oleh bursa komoditas? Rumit sekali urusan minyak goreng ini. Tidak bisakah disederhanakan? Begitulah rupanya jika kehidupan diatur oleh para kapitalis. Dasar pertimbangannya adalah keuntungan materi saja.

Islam mengatur seluruh aspek kehidupan manusia termasuk urusan ekonomi. Terlebih minyak goreng adalah komoditas penting yang dibutuhkan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Dalam sistem ekonomi Islam, sudah menjadi kewajiban negara untuk memastikan pemenuhan kebutuhan minyak goreng bagi seluruh warganya. Urusan ini akan diatur mulai dari hulu sampai dengan hilir. Mulai dari produksi bahan baku, memproses bahan mentah, mengemasnya sampai dengan memastikan komoditas tersebut terdistribusi ke seluruh wilayah negara.

Sawit sebagai bahan dasar minyak goreng akan secara luas ditanam di lahan-lahan pertanian. Pengelolaan lahan ini sepenuhnya diatur oleh negara, bukan diberikan pada pihak swasta apalagi asing. Dalam mengelola lahan juga akan menggunakan cara-cara yang tidak merusak alam. Fakta yang terjadi saat ini, sebagian besar produsen sawit dikuasai oleh swasta dan asing. Jika pun ada keuntungan yang banyak dari bisnis sawit di pasar dunia, maka sesungguhnya keuntungannya masuk ke kantong swasta dan asing tersebut. Praktis masyarakat hanya mendapat kabar tentang besarnya nilai ekspor sawit tanpa secara langsung menikmati hasilnya. Sebaliknya, yang terjadi justru merasakan naiknya harga minyak goreng di pasaran.

Mengenai pengaturan harga pasar ini Rasulullah SAW telah bersabda, “Sesungguhnya Allah-lah yang menentukan harga, yang menyempitkan dan melapangkan, dan Dia yang memberi rezeki. Sungguh, aku berharap ketika berjumpa dengan Allah tidak ada seseorang yang meminta pertanggungjawaban dariku dalam hal darah dan harta” (HR. Ibnu Majah).

Wallahu a’lam bishshawab.

[ah/LM]

Please follow and like us:

Tentang Penulis