Semeru Erupsi, Musibah dan Muhasabah
Oleh : Wa Limi, S. Pd.
(Relawan Media Kendari)
Lensa Media News – Mengawali penghujung tahun 2021, ibu pertiwi kembali berduka. Gunung Semeru kembali erupsi pada Sabtu, 4 Desember 2021. Erupsi kali ini menelan banyak korban. Pelaksana Tugas Kepala Pusat Data Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB Abdul Muhari, melalui konferensi pers virtual mengatakan, total korban luka berat dan ringan berjumlah 56 orang (kompas.com, 5/12/21).
Sementara itu, berdasarkan data dari BNPB, korban meninggal hingga Selasa (7/12) berjumlah 22 orang. 27 warga dinyatakan hilang. Jumlah warga terdampak mencapai 5.205 jiwa. Sebanyak 2.004 warga mengungsi di 19 titik pengungsian (suara.com, 7/12/21).
Tragedi gunung meletus bukan baru kali ini terjadi. Sebelumnya, pada awal tahun di hari yang sama, tepatnya Sabtu, 16 Januari 2021, Gunung Semeru juga mengalami erupsi. Erupsi Gunung Semeru memiliki catatan sejarah yang panjang. Gunung dengan ketinggian 3.676 mdpl ini pertama kali mengalami erupsi pada 8 November 1818, 203 tahun silam. Bahkan, PVMBG mencatat erupsi Gunung Semeru terjadi dalam rentang waktu yang berdekatan, yakni setiap dua tahun. Sejak tahun 1990, 1992, 1994, kemudian tahun 2002, 2004, 2005, dan 2008. Erupsi Gunung Semeru kerap menelan korban, baik harta maupun jiwa.
Banyaknya korban seharusnya bisa diantisipasi. Kawasan gunung berapi semestinya dilengkapi dengan Early Warning System (EWS) atau sistem peringatan dini. Menurut Wikipedia, EWS atau sistem peringatan dini adalah sistem peringatan yang dapat diimplementasikan sebagai rantai komunikasi informasi yang terdiri dari sensor, deteksi peristiwa, dan sub sistem keputusan untuk identifikasi dini bahaya. EWS berfungsi sebagai alarm. Sehingga, warga yang bermukim di sekitar Semeru dapat mengambil langkah penyelamatan. Namun, faktanya tidak demikian. Tidak ada sistem peringatan dini yang notabene merupakan alat vital dan wajib ada di titik-titik rawan. Apalagi, gunung Semeru termasuk gunung aktif yang sering mengalami erupsi.
Kepala Bidang Kedaruratan dan Rekonstruksi BPBD Lumajang Joko Sambang mengatakan, selama ini tidak ada Early Warning System di Desa Curah Kobokan. Hanya ada Seismometer di daerah Dusun Sumbersari (kamar A), untuk memantau pergerakan air dari atas agar bisa disampaikan kepada para penambang pasir (kompas.com, 5/12/21).
Senada, tersirat dalam pernyataan Bupati Lumajang Thoriqul Haq yang mengatakan, geliat aktivitas Semeru sudah terpantau sejak Jumat, 3 Desember. Sejak Sabtu dini hari Semeru sudah mengeluarkan larva pijar dan terjadi erupsi-erupsi kecil. Namun, menurutnya hingga Sabtu pagi, kondisi terpantau masih aman-aman saja (kompas.com, 5/12/21). Hal ini menunjukkan bahwa memang tidak ada alat pendeteksi dini yang bisa merekam tanda-tanda gunung Semeru akan meletus. Ketiadaan EWS menunjukkan, pemerintah tidak memiliki kesiapan dalam mitigasi bencana.
Setiap musibah yang terjadi merupakan ketetapan Allah sekaligus bukti betapa Allah, Swt. Maha Kuasa atas segala sesuatu. Hendaknya setiap musibah yang terjadi menyadarkan kita bahwa sungguh manusia teramat kecil. Lemah di hadapan Allah. Jika Allah telah berkehendak terjadi bencana, tak sedikit pun manusia mampu menghalanginya. Namun, manusia diberi hak melakukan ikhtiar pencegahan dan penyelamatan. Sebatas dalam wilayah yang dikuasai.
Musibah juga merupakan teguran dan peringatan bagi manusia atas kelalaian dan kerusakan yang telah diperbuat di muka bumi. Sesungguhnya Allah, Swt. Berfirman, “Musibah apa saja yang menimpa kalian itu adalah akibat perbuatan kalian sendiri. Allah memaafkan sebagian besar (dosa-dosa kalian),” (QS. Asy-syura :30).
Musibah sepatutnya menjadi pengingat bagi seluruh elemen masyarakat termasuk penguasa. Sebagai individu, hendaknya memaknai musibah sebagai ujian, peringatan, dan motivasi untuk meningkatkan ketakwaan kepada Allah. Sebagai bagian dari masyarakat, hendaknya menjalankan peran sebagai sosial kontrol melalui aktivitas amar makruf nahi munkar. Sebagai penguasa hendaknya menjalankan fungsi sebagai pelindung dan pelayan bagi rakyat. Kemaslahatan rakyat harus menjadi prioritas. Untuk menghadapi bencana seyogianya penguasa menyiapkan mitigasi bencana, yakni segala upaya mengurangi risiko bencana. Dari kesiapan peralatan, SDM, hingga pendanaan.
Selanjutnya, negara bertanggung jawab mengedukasi masyarakat tentang bencana melalui penyuluhan oleh lembaga terkait atau melalui berbagai media milik negara. Namun, mekanisme seperti ini tidak kita temukan dalam sistem hari ini. Dimana pengurusan urusan rakyat selalu berbasis untung rugi. Pelayanan berbasis kemaslahatan rakyat hanya ada dalam sistem Islam, dengan seperangkat aturannya yang sempurna dan paripurna. Dengan demikian, pelayanan terbaik penguasa atas rakyatnya hanya bisa terwujud dalam sebuah institusi yang menerapkan Islam secara sempurna.
Wallaahu A’lam.
[faz/LM]