Indonesia dalam Jebakan Utang
Utang sejatinya haruslah dibayar. Siapa yang tidak ingin utangnya segera lunas? Semua pasti menginginkannya. Namun, faktanya alih-alih lunas, utang luar negeri pemerintah justru makin membengkak. Kenapa bisa demikian? Inilah pertanyaan yang harus segera dipecahkan dan dicarikan solusinya. Rakyat butuh bukti nyata, bukan hanya janji yang membuat terlena.
Bank Indonesia mencatat utang luar negeri Indonesia hingga akhir kuartal ketiga tahun ini mencapai US$ 423,1 miliar atau sekitar Rp 6.008 triliun, naik 3,7% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Kenaikan ULN antara lain didorong oleh utang luar negeri pemerintah yang bertambah seiring penerbitan global bonds, termasuk Sustainable Development Goals (SDG) Bond sebesar 500 juta euro.”Dari sisi risiko refinancing , posisi ULN pemerintah aman karena hampir seluruh ULN (utang luar negeri) memiliki tenor jangka panjang dengan pangsa mencapai 99,9% dari total ULN pemerintah,” ujar Erwin dalam keterangan resmi, Senin (15/11). (https://katadata.id, 15/11/2021)
Utang luar negeri yang menembus lebih dari 6000 Triliun adalah alarm bahaya bagi fundamental ekonomi (berbasis utang). Hal ini juga juga akan berpengaruh besar pada kedaulatan bangsa, pasalnya setiap Lembaga donor mensyaratkan sejumlah kebijakan yang harus diambil debitur. Hal ini membuat Indonesia terikat dan tidak memiliki kedaulatan penuh. Namun meski demikian, pemerintah masih berdalih kondisi akan segera membaik seiring membengkaknya utang. Apakah benar demikian?
Sejatinya utang luar negeri adalah jebakan penjajahan ekonomi bagi negeri kaya SDA/SDM.
Tiada harapan perbaikan kondisi ekonomi apabila tetap dalam penerapan ekonomi kapitalis. Solusi atas problem ini adalah pemerintahan yang mandiri secara politik dan pengelolaan SDA sesuai dengan aturan Islam. Indonesia adalah negara yang kaya, dengan memaksimalkan potensi yang dimiliki, masalah ekonomi ini seharusnya bisa diatasi. Utang bisa segera dibayar, rakyat bisa merasakan angin segar. Negara yang berdiri di atas landasan Islam berkewajiban menjalankan peran negara sebagai pelayan dan pengayom umat, bukan sebagai pebisnis yang pro kapitalis. Jadi, bukankah sudah saatnya kita kembali pada sistem Islam? Adapun peran tersebut bisa terwujud jika menerapkan Syariat Islam secara kaffah.
Wallahu A’lam Bishawab.
Nurlaini, Aktivis Dakwah
[faz/LM]