Santri adalah Agen Perubahan, Bukan Penggerak Ekonomi Negara
Latar belakang diperingatinya Hari Santri Nasional yang ditetapkan setiap tanggal 22 Oktober 2021, tidak terlepas dari peran para santri dan pesantren dalam memenuhi seruan KH Hasyim Asy ‘ari. Seruan yang tak lain adalah jihad untuk membulatkan tekad melawan tentara sekutu. Dengan menilik sejarah tersebut, akan kita dapati bahwa, sejatinya santri memiliki peran strategis untuk melakukan kebangkitan. Sayangnya, potensi santri yang strategis untuk perubahan hakiki, hari ini justru dibajak dijadikan sebagai penggerak ekonomi.
Hal itu tampak dalam pidato yang disampaikan oleh Presiden Joko Widodo saat peringatan Hari Santri Nasional dan peluncuran Logo Baru Masyarakat Ekonomi Syariah (MES). Presiden Joko Widodo menyatakan harapannya agar MES dapat dikembangkan juga di kalangan santri. Beliau juga menyatakan bahwa orientasi santri bukan lagi mencari lapangan pekerjaan tetapi menciptakan kesempatan kerja bagi banyak orang menebar manfaat seluas-luasnya bagi umat (viva.co.id, 22/10/2021).
Padahal menjadikan santri sebagai penggerak ekonomi negara, ini berarti merampas potensi hakiki santri. Sebab sesungguhnya, para santri memiliki tsaqafah Islam yang berpotensi untuk membangkitkan umat. Mereka merupakan sumber daya manusia yang unggul dan generasi cemerlang. Mereka adalah aset umat untuk meraih perubahan.
Terlebih lagi, di kehidupan hari ini yang dicengkeram oleh kapitalisme-sekularisme, telah menjadikan umat begitu jauh dari ajaran Islam dan gaya hidup Islam. Keberadaan santri dan ulama sangat dibutuhkan untuk memberikan pencerahan ditengah-tengah umat. Pada pundak para santrilah terdapat tanggung jawab untuk mewujudkan kebangkitan umat. Bukan malah memberdayakan mereka untuk mendongkrak ekonomi negara, yang justru hal itu merupakan tanggung jawab pemerintah.
Deny Setyoko Wati
[hw/LM]