Moratorium Pinjol, Akankah Masyarakat Selamat dari Lilitan Utang?

Oleh: Umi Diwanti

 

Lensa Media News – Terlibat dengan 25 pinjaman online, seorang ibu depresi hingga bunuh diri. Kejadian ini sontak mendapat reaksi sana-sini. Termasuk oleh presiden, dengan memerintahkan moratorium penerbitan penyelenggara sistem elektronik untuk pinjol kepada Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo). Juga perintah moratorium pada penerbitan izin fintech kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) (Bisnis.com, 15/10/2021).

Peristiwa ini memang sudah selayaknya mendapatkan perhatian serius. Pasalnya jauh sebelum kasus ibu bunuh diri ini, masalah pinjol ini sudah sangat meresahkan. Namun apakah kebijakan moratorium ini mampu menjamin masyarakat akan terhindar dari lilitan utang yang mencekik?

Tentu saja tidak. Setidaknya ada empat alasan. Pertama, pinjol sulit dibasmi karena pada dasarnya mendapatkan izin resmi secara umum. Yakni kebebasan praktik riba di negeri ini. Jikapun saat ini diberlakukan moratorium tidak mustahil akan hadir praktik riba lainnya. Bahkan yang sudah ada pun banyak sekali. Efeknya tidak kalah meresahkan dibanding pinjol. Mulai dari rentenir individual ilegal hingga lembaga legal.

Semua memungkinkan untuk membuat peminjam depresi hingga bunuh diri. Misalnya saja yang diberitakan Kompas.com (14/06/2021), seorang pria HM (31) di Kalimantan Barat yang nekad gantung diri akibat depresi tak sanggup membayar utang bank. Masih banyak kasus lainnya bertebaran di portal berita. Dari sini, masyarakat tak akan bisa lepas dari lilitan utang yang mengancam harta dan jiwa, selagi praktik riba masih dihalalkan.

Kedua, suburnya pinjol dan lainnya menjadi subur karena banyak peminatnya. Bak gayung bersambut. Ini karena masyarakat yang ada saat ini sudah terbentuk menjadi masyarakat yang materialistis. Di bawah sistem kehidupan sekuler-kapitalis masyarakat telah menjadikan materi sebagai tolok ukur kesuksesan dan kemuliaan seseorang. Maka berlomba lah mereka untuk mendapatkan harta, tak peduli lewat mana dan apa akibatnya. Utang riba apalagi pinjol yang syarat peminjamannya relatif sangat mudah, pun menjadi pilihan favorit kekinian.

Ketiga, selain mengejar gaya hidup, banyak juga di antara korban pinjol dan utang riba lainnya adalah demi menyambung hidup. Sudah bukan rahasia lagi, kemiskinan di negeri ini sudah menjadi gambaran umum masyarakat. Mereka terpaksa ambil riba karena tak tak ada jalan lain. Entah untuk biaya berobat, pendidikan, bahkan untuk makan.

Keempat, pinjol dan sejenisnya semakin jadi primadona disebabkan tidak adanya alternatif lain. Wadah meminjam tanpa riba sangatlah langka. Sekalipun meminjam pada keluarga sendiri. Hal ini juga disebabkan salah satunya karena sistem sekuler telah sukses menjauhkan manusia dari agama. Tak ada lagi pemahaman tentang kemuliaan menolong sesama termasuk keutamaan-keutamaan memberikan utang (non riba). Dari sisi lain, rasa takut pada Allah dalam diri si peminjam juga sudah tergerus. Dengan mudahnya mangkir dari bayar utang sehingga rasa percaya itupun jadi barang langka. Kehidupan yang penuh dilema bukan?

Namun, jika kita mau berpikir lebih jauh, semua ini tetap ada solusinya. Jika diusut satu per satu, maka ke empat penyebab ini bermuara pada satu problem utama. Yakni jauhnya kehidupan kita dari agama.

Pertama, andai agama (Islam) dijadikan landasan maka harusnya negara menutup semua praktik riba baik kecil apalagi besar. Sebab keharaman riba ini sangat besar hingga Allah dan Rasul-Nya menantang perang kepada siapa saja yang mengambil riba. Negara harusnya menerapkan hukum yang berat jika masih ada yang melanggarnya.

Kedua, andai agama dijadikan rujukan, maka negara akan menjadi penanggung jawab utama dalam memenuhi kebutuhan dasar masyarakatnya. Dengan menerapkan sistem sistem ekonomi Islam negara akan mampu memenuhi semua kebutuhan dasar warga negaranya. Dijamin tak akan ada warga negara yang kepepet ambil utang riba demi menyambung nyawa apalagi karena sekadar buat bergaya. Karena berdasarkan Islam selain wajib menjamin kebutuhan hidup, juga berkewajiban memahamkan masyarakat dengan pandangan Islam. Bahwa kemuliaan di sisi Allah adalah karena ketakwaan bukan kekayaan.
Selanjutnya dengan pemahaman Islam yang mendarah daging tadi, maka di antara masyarakat sendiri akan tumbuh semangat untuk saling menolong baik dengan jalan hadiah, sedekah, dan pinjaman.

Masya Allah sungguh indahnya kehidupan semacam ini. Ketika sebuah negara menerapkan Islam secara keseluruhan niscaya tak akan ada masyarakat yang terperangkap nestapa utang riba bahkan nestapa hidup lainnya. Karena Islam, jika diterapkan secara keseluruhan, akan benar-benar menjadi solusi seluruh permasalahan. Masyarakat di dalamnya akan sejahtera dan bahagia. Sebagaimana ini sudah menjadi janji Allah dalam firman-Nya, “Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan” (TQS. Al-A’rof: 96).

Wallahu a’lam bishshawab.

 

[ah/LM]

Please follow and like us:

Tentang Penulis