Antara Pendapatan dan Kinerja Wakil Rakyat: Sebuah Paradoks

Oleh: Ilmi Mumtahanah

(Pemerhati Kebijakan Publik)

 

Lensa Media News – “Wakil rakyat seharusnya merakyat. Jangan tidur waktu sidang soal rakyat. Wakil rakyat bukan paduan suara. Hanya tahu nyanyian lagu setuju.” Adakah penggalan lirik lagu Iwan Fals ini merepresentasikan sepenuhnya kinerja wakil rakyat kita yang seharusnya merakyat? Tampaknya tidak. Yang paling mengemuka saat ini adalah kontradiksi gaji mereka dengan kinerjanya.

Dalam tayangan YouTube Akbar Faizal, publik kembali dibuat terhenyak. Artis Krisdayanti yang sekarang menjadi politisi dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) mengungkapkan setiap bulan ia menerima gaji pokok Rp 16 juta dan uang tunjangan Rp 59 juta. Bukan cuma itu, ia pun mendapatkan dana aspirasi 5 kali dalam setahun sebesar Rp 450 juta dan dana reses yang diterimanya 8 kali dalam setahun sebesar Rp 140 juta (Kompas.com, 16/9/2021). Angka fantastis dari pendapatan wakil rakyat ini tentu saja terdengar miris di telinga rakyat yang tengah menderita kesulitan ekonomi di masa pandemi.

Lebih lanjut, nominal pendapatan yang besar sebagai wakil rakyat tersebut sayangnya tidak disertai dengan hasil yang memuaskan. Kinerja DPR selalu menjadi sorotan publik. Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) sampai menggunakan kata “lebih buruk” dalam menggambarkan kinerja anggota DPR pada periode 2019-2024 ini jika dibandingkan periode lalu. Formappi mengatakan DPR periode 2014-2019 terburuk di era reformasi, tetapi tampaknya ada yang lebih buruk dari 2014-2019 dalam hal kinerja adalah DPR yang sekarang ini (Suara.com, 12/8/2021).

Kepekaan secara sosial anggota DPR juga sering membuat miris masyarakat. Misalnya saja, anggota DPR banyak mendorong disediakan fasilitas mewah dan diperlakukan istimewa sebagai wakil rakyat dalam masa pandemi Covid-19 ini. Problematika ini juga diperburuk, jika anggota DPR melakukan kunjungan ke daerah pemilihan seperti melaksanakan serap aspirasi, acap anggota DPR mengeluhkan hubungan antara wakil dan yang diwakili. Mereka mengeluhkan masyarakat yang lebih cenderung meminta bantuan dana kepada mereka.

Dalam konstelasi pemerintahan kapitalisme, posisi wakil rakyat memungkinkan untuk tidak terlaksananya fungsi pengurusan umat. Mengapa? Sebab, sistem politik demokrasi yang berbiaya mahal mengharuskan balik modal. Para pejabat yang bermental kapitalis akan terbagi fokusnya, antara mengembalikan modal politik dengan menambah kekayaan dengan mengurus urusan rakyat. Hasilnya, lebih sering kita temui mereka yang mementingkan prinsip balik modal melalui korupsi.

Selain itu, adanya prinsip kebebasan dan asas kepentingan menjadi pembenar bahwa kekayaan yang didapat bisa dari mana saja dan dengan siapa saja. Fokus yang terbagi tadi menciptakan rangkap jabatan; penguasa sekaligus pengusaha. Tak berlaku label lawan atau kawan politik secara permanen. Asalkan bisa memberikan manfaat, idealisme kadang tak berkutik.

Parahnya, kerangka berpikir demikian akan menggerus empati dan kepedulian. Jabatan tak dipandang lagi sebagai amanah berharga. Mudah berkhianat karena desakan kepentingan pribadi. Nahasnya, mengurus rakyat jadi setengah hati. Terciptalah kesenjangan ekonomi. Jurang pemisah yang lebar antara rakyat dengan orang-orang yang mengaku mewakili rakyat.

Kesenjangan ini terlihat dari data Badan Pusat Statistik (BPS) yang melaporkan jumlah penduduk miskin pada Maret 2021 mencapai 27,54 juta orang. Jumlah ini hanya menurun tipis—0,01 juta orang dibanding September 2020. Namun, jika dibandingkan pada Maret 2020, jumlah penduduk miskin naik 1,12 juta orang (Kompas.com, 13/9/2021).

Padahal, dalam Islam, penguasa tak diberikan gaji. Mereka hanya diberikan santunan sesuai dengan kebutuhannya. Aturan ini saja sudah menghilangkan potensi adanya pejabat pemburu harta. Ditambah, sistem politik yang mudah dan murah akan menyingkirkan keterlibatan korporasi dalam kontensitasnya. Akhirnya, kebijakan yang ditetapkan penguasa akan terbebas dari setiran pihak mana pun. Begitu pun janji Allah Swt. pada penguasa yang amanah, berupa ganjaran pahala yang besar, membuat pejabat dipenuhi dengan orang-orang beriman yang menginginkan pahala, bukan harta.

Adapun ancaman Allah Swt pada penguasa yang lalai, akan menghadirkan para pemimpin yang kapabel dalam mengurusi umat. Mereka yang merasa tidak mampu tidak akan mau menerima amanah. Inilah yang menjadikan pemimpin dalam sistem Islam bukan hanya memiliki keimanan yang tinggi, tetapi juga kemampuan yang mumpuni. “Siapa yang diamanati Allah untuk memimpin rakyat, lalu ia tidak memimpinnya dengan tuntunan yang baik, maka ia tidak akan dapat merasakan bau surga.” (HR Bukhari dan Muslim).

Wallahu ‘alam bissawab.

[ln/LM]

Please follow and like us:

Tentang Penulis